Sieben

723 98 51
                                    

“Bub?” panggil Dev sambil mengecup singkat pipi Ralaya yang tengah berbaring di sampingnya sementara Dev sedang tengkurap sembari mengerjakan tugasnya menggunakan laptop.

Pantas saja suasana terasa hening, hanya ada suara jemarinya yang menari diatas keyboard, ternyata gadisnya tengah melamun sembari menatap langit-langit kamarnya.

Tatapannya begitu kosong dengan dahi yang sedikit berkerut.

Pasti gadisnya tengah memikirkan sesuatu.

“Kenapa melamun hm?”

“Aku tiba-tiba kepikiran Sara,” ucapnya sambil membaringkan tubuhnya menghadap Dev. “Kira-kira dia udah berapa lama suka selfharm, ya?”

“Hm gatau. Kenapa emangnya?” jemari Dev merapihkan surai hitam Ralaya, memberikan sentuhan kecil pada gadisnya.

“Pas ngeliat Sara, aku ngerasa lagi ngaca,” gumam Ralaya. “Apa dulu aku terlihat se-desperate itu? Apa dulu aku terlihat menyedihkan?”

Dev terdiam sejenak sambil memandangi iris hitam gadisnya yang nampak terlihat sendu.

Jemarinya berhenti merapihkan surai hitam gadisnya dan beralih pada pipi lembut Ralaya yang nampak berisi sekarang, tak seperti dulu yang nampak kurus.

Well, semua orang punya titik terendahnya masing-masing, Bub. Dan mungkin sekarang Sara lagi di titik terendahnya dia.”

Ralaya mengangguk lemah. “Apa dia bisa sembuh?”

Yeah, look at you,” ucap Dev lalu kembali mendaratkan sebuah kecupan di bibir Ralaya, kesukaannya. “Kamu sembuhkan? Mungkin gak seratus persen but much better, right?”

Ralaya terdiam seketika. Dia kebingungan menjawab pertanyaan Dev.

Pasalnya, dia pun tak terlalu yakin dengan keadaannya sekarang. Mungkin untuk beberapa bulan ini Ralaya sudah tak pernah selfharm lagi tapi dia masih merasakan gejala lain.

Dia masih sering berjengit saat ada seseorang yang menaikkan nada bicaranya. Dia masih sering was-was dan menutup saat ada seseorang yang mengangkat tangannya ke udara.

Bahkan rasanya baru kemarin. Saat dirinya dengan nekad menolong River dari Bara.

Ralaya ada di tengah-tengah mereka yang saling berteriak dan melakukan kekerasan di depan matanya sendiri.

Sejujurnya saat itu dia tengah ketakutan setengah mati. Dia pun tak percaya bahwa dirinya punya begitu banyak keyakinan dan keberanian untuk melerai Bara dan River.

Dia juga bingung kenapa alam bawah sadarnya masih memberikan alarm seperti itu. Alarm yang berhubungan dengan segala perlakuan orangtuanya di masa lalu. Tentang mereka yang bertengkar dengan saling berteriak dengan sang papa dan Deri yang bertindak abusive padanya saat dulu.

Dia ingin sekali mengatakan hal ini pada Dev, tapi terpaksa harus dia pendam. Cowok di depannya ini pun tengah tak stabil dan Ralaya tak mau membebani pikiran Dev tentang segala ketakutannya.

“Yeah, aku ngerasa lebih baik sekarang,” ucapnya sambil tersenyum manis, berusaha meyakinkan kalau dirinya tengah baik-baik saja.

Dev tersenyum lembut lalu membawa telapak tangan Ralaya dan menautkan dengan jemarinya.

Entah kenapa, rasanya Dev suka saja melihat tangan kecil Ralaya yang tenggelam di genggamannya. Terasa sangat pas dan juga hangat.

Dengan spontan dia pun mengecup punggung tangan Ralaya dan membuat gadisnya tertawa geli.

“Oh iya, aku pengen nanya sesuatu, Bub.”

“Tentang?”

Selfharm,” ucap Dev sambil menatap Ralaya yang entah kenapa nampak sedikit gugup sekarang.

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang