Zwölf

587 94 13
                                    

"Dev?"

"Sayang?"

"Bub?"

Ralaya duduk di pinggir sofa dengan jemarinya yang menyisir surai hitam Dev yang sedikit berantakan.
"Wake up, Sleepyhead."

Perlahan kelopak mata cowok itu mulai terbuka, menampilkan iris hazelnya yang memicing menyesuaikan dengan sorot lampu ruangan.

Hingga saat mata itu terbuka sepenuhnya, Dev langsung mendapati sosok yang disayanginya tengah menatapnya sambil tersenyum lembut, penuh dengan afeksi.

Dev balas tersenyum lelah dan mulai menyandarkan punggungnya ke lengan sofa. Dia merentangkan kedua tangannya, meminta Ralaya agar mendekat dan masuk kedalam dekapannya.

Gadis itu masih mempertahankan senyumnya dan masuk kedalam dekapan hangat Dev.

Dengan posisi seperti ini, dia bisa mendengar degupan jantung cowok itu. Sebuah hal kecil yang selalu Ralaya sukai.

Dia juga bisa merasakan kalau kini Dev lah yang mengusap rambutnya lembut dan mengecupnya sesekali.

Rasanya nyaman.

Mereka tertahan dalam posisi itu selama beberapa menit, saling berbagi pelukan yang menenangkan dalam hening.

Setelahnya, Ralaya pun mulai mendongak dan memastikan keadaan Dev.

"Feel better?"

"Yea, i feel better, Bub," ucap Dev dengan suara yang serak khas bangun tidur.

Gadis bersurai hitam itu segera meraih segelas air untuk Dev lalu dia menghela napas lega setelahnya. Syukurlah jika Dev sudah merasa lebih baik sekarang. Pasalnya dia cukup panik dan khawatir pada apa yang terjadi pada Dev hari ini.

Dia bahkan sudah bersiap menelpon Rio atau Jevin jika hal buruk lainnya terjadi pada Dev.

Ralaya mengangguk sekilas. "Jadi ada cerita apa hari ini? Kamu ada masalah di kampus?"

"Gak ada."

Ralaya melepaskan pelukannya dan menatap Dev lamat-lamat. Iris hitamnya menatap Dev serius.

Cowok itu tak terlihat sakit, maka dari itu Ralaya mengasumsikan kalau ada sesuatu yang salah di diri Dev.

"Tapi Dev yang aku kenal gak pernah skip kelas," gumam Ralaya lalu mengusap punggung tangan Dev, memberikan gestur kecil disana. "I'm here, you can tell me anything."

Ralaya tak bermaksud memaksa. Dia hanya ingin Dev membagikan semua kekhawatiran dan rasa tak nyaman yang dia rasakan padanya.

Dia tak ingin Dev merasa sendirian. Dev punya Ralaya, begitu pun sebaliknya. Mereka saling memiliki, jadi bukanlah hal yang salah untuk saling berbagi perasaan. Entah itu rasa senang, sedih, gusar—apapun itu.

Dev bisa melihat kalau iris hitam favoritnya mulai meredup, penuh kekhawatiran.

Dia menghembuskan napas lelah dengan matanya yang menatap kosong langit-langit ruangan.

"Aku ngerasa capek, kosong, gak bisa rasain apapun. Kayak—gatau, Bub. Aku bingung. Sejujurnya aku mulai gak paham sama diriku sendiri," balas Dev begitu lirih yang tanpa dia sadari sudah membuat perasaan Ralaya berdenyut nyeri.

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang