Zehn

597 129 72
                                    

Tak terhitung sudah berapa kali Ralaya menghela napas lelah. Rautnya yang selalu ceria kini nampak muram dengan bibir yang mengerucut kesal hingga tak jarang dia berdumel pelan merutuki dirinya yang dibiarkan menunggu selama hampir dua jam, sendirian.

Selama itu juga bahkan Ralaya sudah menyempatkan membeli makanan di kantin fakultas hingga menonton Youtube demi mengusir rasa bosannya.

Kakinya yang tak menapak ke lantai—karena kursi memanjang yang dia duduki saat ini cukup tinggi ditambah tubuh Ralaya yang memang pendek—berayun pelan sembari menunggu seseorang yang dia tunggu kedatangannya.

Dia kembali menatap layar ponsel. Benda pipih itu masih tak menampilkan notifikasi apapun.

Dev tak merespon semua chat dan panggilannya.

Sebenarnya bisa saja dia pulang sendirian naik ojek online atau taxi sekalipun tapi Dev memang tipikal posesif dan protektif di saat yang bersamaan.

Kejadian di masa lalu saat Ralaya diantar oleh Erik menuju Deri memberikan dampak yang sangat-sangat besar untuk Dev. Dikhianati seorang teman membuat cara pandang Dev cukup berubah.

Cowok itu tak memperbolehkan Ralaya pulang dan pergi bersama orang lain. Ralaya hanya bisa melakukannya bersama Dev.

Bahkan cowok itu mengatakan dengan terang-terangan kalau dirinya adalah supir pribadi Ralaya dan Dev tak keberatan dengan itu.

Ralaya tak bisa berkata apa-apa selain menurut. Juga, dia pun mengerti dan paham dengan ketakutan yang Dev rasakan. Terlebih karena salah satu triggered PTSD yang Dev alami adalah karena dirinya sendiri.

Ini memang bukan kali pertama Ralaya menunggu Dev tapi ini adalah kali pertama Ralaya menunggu Dev selama hampir dua jam bahkan tanpa kabar sama sekali.

Jika Ralaya nekad pulang sendirian, dia takut Dev marah sebab pulang dan pergi bersama sudah menjadi aturan keduanya sejak masuk bangku kuliah.

Dia juga takut kalau itu jadi sesuatu hal yang membuat Dev triggered kembali. Ralaya tak mau hal itu terjadi.

Lagi pula kini Dev sudah tak mengonsumsi obatnya lagi dan jika Dev 'kambuh' pasti rasanya akan rumit sekali.

"Bub!"

Ralaya langsung mendongak begitu suara familiar itu menyapa rungunya. Dia langsung melihat sosok yang dia tunggu sedaritadi tengah berlari ke arahnya.

Ralaya hanya diam lalu mulai beranjak dari duduknya. Dia  melangkahkan kakinya dengan gontai. Ah tidak, bahkan langkahnya terlampau lamban.

Moodnya telah rusak.

Begitu mereka sudah berdiri saling berhadapan, Dev mengusak puncak kepala Ralaya dengan sayang. "Maaf bikin kamu nunggu lama."

"Gapapa, cuma dua jam kok," sindir gadis itu lalu melangkahkan kakinya melewati Dev begitu saja.

Dia kesal.

Dia tak suka dibiarkan menunggu secara tiba-tiba tanpa kabar seperti ini.

Dev tak tinggal diam. Dia segera menggapai kedua pundak gadisnya, memutar tubuh kecil itu agar menghadap ke arahnya.

Nampak sekali raut muram Ralaya. Bibir gadis itu mengerucut menahan kesal dengan matanya yang bahkan tak mau menatap Dev.

Kenapa rasanya sakit sekali melihat Ralaya yang seperti ini?

"Bub, maafin aku," ucap Dev sungguh-sungguh.

"Kamu abis dari mana? Kak Jevin aja udah pulang daritadi," tanya Ralaya sambil memandang ke arah lain.

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang