Fünfzehn

579 86 24
                                    

"Dev, kamu beli hot toys lagi?" ucap Ralaya sambil memegang sebuah kotak yang dibungkus rapi. Disana tertera nama Dev serta nama dan nomor apartemennya.

Ralaya berjalan ke arah ruang tengah sambil mengira-ngira apa isi dari bungkusan ini.

Dev menoleh ke belakang dengan dahi yang mengernyit. Dia mencoba mengingat-ngingat lagi barang apa saja yang sudah dia beli. Butuh beberapa detik untuk Dev berpikir sampai akhirnya lampu imajinernya menyala.

"Ah udah dateng rupanya, sini deh, Bub. Kita buka."

Ralaya mengangguk dan duduk di sofa bersama Dev. Cowok itu membuka bungkusan hitamnya dengan hati-hati sementara Ralaya melihatnya dengan seksama.

Awas saja jika Dev membeli hot toys lagi. Ralaya akan mengomel kali ini.

Lihat saja isi apartemen Dev, terlebih di kamar cowok itu. Di dominasi oleh hot toys Marvel.

Dibanding sebuah apartemen mewah, ini lebih pantas disebut toko mainan.

"Baju?" gumam Ralaya. "Oh ada gelang juga. Wait—kenapa kamu beli gelang?"

Dev menggelengkan kepalanya. "Gelangnya kamu pake aja. Trus kalo mau kaosnya juga gapapa."

Ralaya menatap Dev tak mengerti. "Trus kenapa kamu pesan kalo kamu sendiri gamau pakai?"

"Soalnya hasil pembelian barang-barang ini tuh buat donasi, Bub."

"Donasi?"

"Hm, donasi pendidikan buat anak-anak berkebutuhan khusus," kata Dev sambil melihat desain kaos bertulisan 'Protect each other' sambil mengusapnya pelan. "Lagi pula kita udah gak pernah ikut kayak charity lagi, kan? Apalagi sekarang kita sibuk kuliah sama tugas-tugas yang gak ada habisnya."

Senyum Ralaya pun lama-lama memudar setelah mendengar ucapan Dev barusan.

Mereka kini memang sudah tak mengikuti acara charity lagi. Bahkan saat bunda mengajak pun, keduanya tak bisa ikut karena saat itu mereka ada jam kuliah sampai sore.

Tapi ide lain seperti membeli sesuatu dengan hasil penjualan untuk donasi seperti ini rasanya bukanlah ide yang buruk.

Sama-sama menolong sesama hanya saja dalam bentuk yang berbeda.

"Gelangnya bagus."

"Hm," dehem Dev sambil mengangguk. "Cocok di tangan kamu."

Ralaya pun hanya mengulas senyuman sebagai jawaban. "Oh iya, tapi aku suka heran sama orang-orang yang nganggap kalo anak berkebutuhan khusus itu aneh. Justru bukannya mereka spesial? Kayak autisme misalnya, mereka cenderung punya IQ yang tinggi, kan?"

"Iya, kadang ada aja orang-orang yang mandang mereka sebelah mata dan terlebih masih banyak orang yang ngebiarin mereka gitu aja," ucap Dev  sambil memainkan jemari Ralaya yang ada di genggamannya. "Mereka cuma harus dilatih fokusnya dan diperlakukan dengan layak."

Gadis itu mengangguk setuju. "Gak jarang orang-orang kayak mereka malah di bully. Kasian banget."

"Iya," ucap Dev singkat. "Bub, kamu masih ingat Calvin? Anak cowok yang kita temui di panti asuhan sama bunda waktu kita masih SMA?"

"Ah! Yang ngasih aku mahkota dan nyuruh aku jadi princess-nya dia, kan? Tapi setelahnya aku malah ditinggalin."

Dev terkekeh pelan. "Iya, dia. Bukannya Calvin juga berkebutuhan khusus?"

"Heem, dia tuna rungu tapi beruntungnya dia pakai alat bantu dengar," ucap Ralaya dengan ingatannya yang langsung terbawa pada saat dia mendapatkan sebuah mahkota dari karton dan secarik kertas dengan tulisan tangan khas anak kecil yang bahkan belum rapi. Memintanya agar menjadi seorang princess. He's too cute! "Dia gimana ya sekarang?"

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang