Sechsunddreißig

695 99 24
                                    

Dev sedikit terkejut dan bingung saat iris hazelnya menatap sekitar. Dia sedang berada di ruangan serba putih ditambah bau obat-obatan yang cukup menusuk hidungnya.

Kepalanya mendadak pening saat berusaha mengingat, padahal setaunya semalam dia itu sedang berada di sebuah cafe yang buka 24jam lalu saat akan pulang—

"Ah iya," ringisnya pelan sambil memegang kepalanya yang berdenyut. Dia terkena serangan panik dan kesakitan di pinggir jalan.

Sial, Dev pikir saat itu dia akan mati tapi rupanya Tuhan masih sudi untuk menyelamatkannya.

Tunggu, tapi siapa yang membawanya ke rumah sakit? Padahal setau Dev saat itu orang-orang hanya menatapnya kasihan tanpa ada yang mau menolongnya.

Lamunanya terhenti saat suara pintu yang terbuka masuk ke rungunya. Iris hazel Dev menatap lekat pada sosok siapa yang akan datang masuk ke ruangan sambil berharap dalam hati semoga itu bukan papa dan bundanya.

"Oh, udah siuman rupanya," sahut cowok bertubuh tinggi dengan hoodie hijau army yang membalut tubuhnya.

Dahi Dev mengeryit, menatap bingung cowok itu yang tengah tersenyum ramah padanya.

Jadi cowok ini yang menyelamatkannya?

Tapi rasanya aneh dan juga tak mungkin. Dev bahkan tak pernah menduga jika sosok ini yang akan datang.

"Lo yang bawa gue kesini?"

"Mau gue telpon nyokap bokap lo gak?"

Pertanyaan yang Dev lontarkan malah dibalas tanya lagi oleh orang ini.

"Lo yang bawa gue kesini?" tanya Dev lagi memastikan.

Cowok itu mengangguk. "Hm ... ya, anggap aja begitu. Sekarang apa perlu gue kasih tau nyokap bokap lo?"

"Ck. Gausah," ucap Dev sambil melepaskan selang oksigennya. Dia sudah merasa lebih baik jadi dia tak membutuhkan ini lagi.

Melihat itu, cowok berhoodie hijau army tadi meringis pelan. Bahkan Dev baru saja sadar tapi sudah bar-bar seperti ini.

Kalau saja Dev terpasang infus, rasanya bukan tak mungkin kalau dia akan langsung melepaskannya juga tanpa bantuan perawat.

"Gue yakin lo pasti tau sesuatu tentang Ralaya," ucap Dev yang malah dibalas dengan dengusan geli oleh cowok berhoodie tadi.

Dia menyambar sebuah kursi dan dia tarik ke dekat brankar Dev. Mendudukan bokongnya sambil melipat tangan di dada. Menyorot Dev dengan tatapan tak terbaca.

"Mau dengar cerita gak?"

"Gak," ucap Dev jengah. Cowok di depannya ini sangat menyebalkan and he's so weird.

Dia kan meminta jawaban, bukannya minta dibacakan cerita.

Cowok berhoodie tadi tersenyum tipis lalu menarik napasnya. Membuat dirinya sendiri rileks karena sesungguhnya dia membutuhkan nyali yang luar biasa untuk mengutarakannya.

Awalnya dia pikir ini bukanlah waktu yang tepat atau mungkin dia takkan pernah mengatakannya sama sekali pada Dev.

Tapi jika dia tak jujur, entah kenapa rasanya dia akan jadi orang jahat karena menjauhkan Ralaya dan Dev yang rupanya masih saling menyayangi meskipun saling menyakiti. Keduanya terlihat saling mengandalkan dan sama-sama tak terbiasa jika sendirian.

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang