Zweiundzwanzig

589 86 57
                                    

Ralaya tengah membaringkan tubuh kecilnya di karpet berbulu, depan televisi.

Tangan kanannya memegang sebuah pena, sibuk menuliskan kata-kata yang dia tulis di buku jurnal.

Buku yang selalu dia isi dengan segala hal yang dia rasakan. Entah senang, sedih, takut, khawatir—apapun itu—Ralaya menuliskan semuanya disana.

Psikiaternya bilang kalau hal itu sedikit banyak akan membantu Ralaya mengekspresikan perasaannya.

Buku bersampul Mike Wazowski itu adalah buku kesekian yang Ralaya miliki sebab dia sudah memulai rutinitas ini sejak SMA. Persis begitu dia mulai berobat ke Psikiater.

Sudah cukup lama, kan? Dan Ralaya rasa, ini memang cukup ampuh.

Jika kemarin-kemarin Ralaya menuliskan kekhawatiran dan ketakutannya karena pertengkarannya dengan Dev dan berakhir dengan cowok itu yang pulang ke rumahnya, kini Ralaya sibuk menuliskan rasa senang dan syukurnya disana.

Tentu saja karena kini Dev ada kembali bersamanya—ah ralat, tepat di sampingnya, sedang memeluk pinggangnya erat—dan Dev terlihat jauh lebih baik karena kini Dev kembali mengonsumsi obatnya.

Rasanya lega, rasanya seperti semua kembali seperti semua.

"Kenapa senyum-senyum terus hm?"

"Soalnya aku lagi seneng," ucap Ralaya sambil tersenyum tapi iris hitamnya masih setia menatap buku yang ada di hadapannya. Seolah buku ini lebih menarik daripada Dev.

"Seneng kenapa? Ayo cerita, aku mau denger," ucap Dev sambil mengeratkan pelukannya dan mengecup bahu Ralaya yang tertutup kaos.

"Gamau," ucap Ralaya jahil sambil menjulurkan lidahnya.

Dev yang gemas langsung menggigit pipi Ralaya hingga gadis itu mengaduh pelan hingga membuat aktifitas menulisnya terhenti.

Tak hanya itu, kini Dev melancarkan aksinya dengan menggelitiki tubuh kecil Ralaya hingga membuat tawa khas gadis itu memenuhi apartemen.

Semakin Ralaya bungkam semakin giat juga Dev menjahili Ralaya.

Disela tawanya, Dev merasa hatinya menghangat. Selain karena kini Dev sudah kembali ke apartemen, dia pun yang semula merasa jauh dengan Ralaya—karena pertengkaran tempo hari—kini Dev merasa kembali dekat.

Dev senang karena Ralaya masih berjuang untuknya, untuk hubungan mereka, untuk 'kita'. Bahkan Ralaya datang kerumahnya dengan tulus dan memaafkannya.

Ralaya benar, Dev tak seharusnya takut dengan apa yang terjadi di masa depan apalagi sampai menyiksa dirinya sendiri dengan menghentikan obat secara mendadak. Membuat kewalahan karena tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Gadisnya berkata kalau masa depan itu tak pasti dan abu-abu. Tapi kalau pun nanti mereka mengalami kesulitan, dia yakin pasti akan ada jalan keluarnya.

"if we're together, everything will be oke," ucap Ralaya waktu itu sambil tersenyum hangat. Tatapannya begitu lembut tapi meyakinkan disaat yang bersamaan.

Kata-katanya seperti mantra. Mampu membuat Dev mengangguk dan merasa lebih baik.

"Say it, Bub."

"No, gamau. Pokoknya gamauuuuuuu," ucap Ralaya disela tawanya.

Ralaya yang senang menggoda Dev dan Dev yang tak suka dibuat penasaran.

Maka dari itu gelitikan Dev tak bisa berhenti sampai dia mendengar jawaban yang dia mau.

Tapi sayangnya, semesta seolah ingin melihat Dev lebih tersiksa dengan rasa penasarannya sebab belum sempat Ralaya memberitahukannya, suara bel apartemen sudah lebih dulu mengi terupsi mereka.

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang