Sechzehn

578 80 31
                                    

"Andai aja kita bisa milih dari keluarga mana kita dilahirkan, pasti semuanya bakal lebih baik. Ya kan, Kak?" ucap Sara sambil mengusap perban yang baru saja Dev pakaikan di lengan kirinya.

Benar, dia telah melakukan selfharm dan Dev datang disini untuk mengobati lukanya dan mendengarkan segala keluh kesahnya.

Sara terharu, ternyata Dev sangat peduli padanya.

"Lo berharap gue ngasih jawaban apa, Sara?"

Gadis itu mendengus geli. "Benar juga, hidup kak Dev kan udah enak, ya. Tumbuh di keluarga yang hangat, punya tunangan yang cantik trus punya temen yang asyik-asyik juga. Kakak beruntung banget."

Dev tak bisa menyangkal dengan fakta itu sehingga yang bisa dia lakukan hanyalah bersyukur dan menjaga itu semua agar tetap melekat di hidupnya.

Tapi perkiraan Sara juga tak semuanya benar. Sekilas, hidup Dev memang enak-enak saja tapi siapa sangka kalau Dev harus bergelut dengan PTSD-nya?

Karena sesungguhnya tak pernah ada manusia yang hidup baik-baik saja tanpa harus merasakan suatu masalah.

"Lo juga beruntung. Diluar sana bahkan banyak anak-anak yang gatau keluarganya ada dimana dan hidup serba kesusahan," jelas Dev. "Bukan gue ngegampangin hidup lo, gue cuma mau lo lebih bersyukur ngejalanin hidup."

"Tapi aku udah gak bisa nikmatin hidupku dengan baik, Kak. Aku selalu sendirian," ucap gadis itu sambil memeluk lututnya. "Aku takut, aku harus gimana?"

Dev tersenyum tipis. "Cukup lakuin apa yang bikin lo bahagia dan sejujurnya, lo itu gak pernah benar-benar sendirian."

"Iya kah?"

"Hm," dehem Dev sambil mengangguk. "Apa lo percaya Tuhan itu ada?"

"T-tentu aku percaya."

"Right, Tuhan itu selalu ada sama kita, Sara." ucap Dev seolah menyindir dirinya sendiri di masa lalu karena sempat meninggalkan Tuhan. "Tuhan itu kekal dan abadi, kan? Itu artinya cuma Tuhan yang gak bakal ninggalin kita sendirian."

"Apa itu artinya kak Dev bakal ninggalin aku juga?"

"Manusia kan gak abadi, kalo waktu kita udah habis ya pasti kita ninggalin dunia ini, Sara," ucap Dev sambil terkekeh pelan.

Sayangnya tawa Dev begitu kontras dengan ekspresi Sara yang terlihat muram dengan tatapan yang sendu. "Jawaban kak Dev terlalu realitis."

"Tapi itu memang kenyataannya, kan?"

Mau tak mau Sara pun mengangguk karena pada dasarnya ucapan kakak tingkatnya ini tidaklah salah. Hanya saja itu bukanlah jawaban yang Sara harapkan.

Melihat Sara yang hanya kembali diam, Dev pun jadi tak tega melihatnya. Gadis introvert itu tampak kembali murung sambil menatap perbannya dalam diam.

Apa Dev telah salah bicara?

"It's oke, tiap orang punya kekhawatiran masing-masing dan kekhawatiran lo karena lo takut kesepian dan sendirian hm?"

Sara pun mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Tenang aja, lo gak usah khawatir, Sara. Lo punya gue—”

Seketika mata gadis itu berbinar dengan degupan jantung yang begitu cepat. Sangat cepat hingga rasanya akan meledak.

Bibirnya yang semula mengerucut kesal seketika mulai berubah membentuk sebuah kurva menyerupai senyuman.

Iya, sayangnya senyuman itu tak sepenuhnya terbit karena ucapan Dev selanjutnya.

"—dan Ralaya. Kita berdua bakal selalu ada buat lo."

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang