Sechs

687 92 28
                                    

Dev tak tahu apa isi otak Jevin.

Cowok konyol yang menjadi salah satu teman sekelasnya itu saat ini tengah rajin-rajinnya bolos kelas disaat mereka akan menginjak tingkat akhir perkuliahan.

Lebih gilanya lagi, Dev malah memberikan jalan pada Jevin dengan meminjamkan mobilnya.

Dev sungguh tak tahu jika Jevin akan kembali bolos di jam pelajaran Profesor, sebab setau Dev itu adalah pelajaran favorit Jevin.

Lagi pula cowok itu bilang akan pergi sebentar ke suatu tempat tapi nyatanya hingga jam pelajaran berakhir, Dev masih tak melihat cowok itu. Bahkan Jevin sangat sulit dihubungi dan sebentar lagi kelas Ralaya juga akan berakhir.

Dev melangkahkan kakinya ke kantin fakultas, karena biasanya cowok itu selalu ada disana membeli bakso ditemani es teh. Tapi sayangnya Jevin tak ada disana.

Perpustakaan? Takkan mungkin Jevin ada disana.

Dia pun kembali melangkahkan kakinya ke taman belakang fakultas, tempat Jevin dan mahasiswa lainnya merokok.

Dia terus berjalan menyusuri koridor untuk sampai di taman belakang fakultas yang sepi sambil sesekali menelepon cowok itu.

Panggilannya tersambung tapi Jevin tak kunjung mengangkat panggilannya. Berani-beraninya Jevin menghilang seenaknya disaat-saat genting seperti ini.

Fuck!” gumam Dev sambil mematikan panggilan teleponnya bersamaan dengan dia yang hanya menemukan pepohonan dan bunga-bunga yang menghiasi taman.

Tempat ini benar-benar sepi padahal biasanya terdapat beberapa mahasiswa yang merokok atau sekedar mencari keheningan disini.

Saat Dev berniat pergi dari taman dan memilih menyerah dengan akan pulang naik taksi bersama Ralaya, dia mendengar sebuah isakan kecil di balik pohon besar yang tak jauh dari tempatnya berada.

Isakan kecil yang tertahan tapi begitu pilu.

Konyol. Tak mungkin itu hantu, kan?
Tak mungkin juga jika itu Jevin.

Karena rasa penasarannya yang tinggi, Dev pun memilih melangkahkan kakinya ke sumber suara.

Dia membawa tungkainya kian mendekati suara tangisan itu dan begitu dia kian dekat, Dev melihat seorang cewek yang tengah merunduk sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan dengan bahu yang bergetar seiring tangisannya.

Dengan yakin, Dev pun menyentuh pundak cewek itu pelan.

“Hey?”

Cewek itu sedikit tersentak dan buru-buru mengusap air matanya karena panik tapi anehnya setelah kejadian itu bukan hanya cewek itu panik, tapi Dev juga.

Pertama, Dev mengenal siapa cewek ini dan kedua, Dev panik karena melihat cairan merah kental yang menetes dari tangannya. Mengotori baju yang cewek itu pakai.

Mata Dev membelalak kaget dan memegang tangan cewek di depannya ini.

“Sara? Lo—ngapain lo selfharm kayak gini?!”

Dengan cepat Sara kembali menarik tangannya dengan kasar dan cepat-cepat menutupi luka goresnya.

Gadis itu memalingkan wajahnya lalu segera berdiri dan berniat untuk pergi. Tapi sayangnya, itu tak semudah yang dia kira karena Dev sudah lebih dulu mencekal tangannya hingga tanpa sadar membuat Sara meringis.

“Sara,” panggil Dev lagi.

“APA SIH KAK? LO MAU NGEHAKIMIN GUE?! ATAU LO MAU NGANGGAP GUE ANEH?” teriak Sara sambil kembali menangis.

Dev hanya diam lalu membawa Sara pergi dari taman ini. Beruntung Sara tak memberontak, hanya saja Dev merasakan tangan cewek ini yang gemetaran.

Dia terus berjalan melewati mahasiswa dan mahasiswa lain tanpa peduli tatapan bingung yang mereka tujukan.

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang