15. Fancy

8.1K 408 11
                                    

"Baiklah Lisa, jaga dirimu baik-baik..."

Sambungan telepon terputus, Vanessa melihat ke arah layar ponselnya dengan senyum mengembang. Wanita paruh baya yang mengasuhnya sejak lahir itu telah mendapatkan perawatan yang layak untuk penyakitnya, Vanessa sungguh bahagia mendengar suara ceria dari wanita yang sudah ia anggap seperti Ibu kandungnya sendiri.

Kini, ia bisa sedikit bernafas lega. Leonard benar-benar mematuhi kontrak yang dibuatnya sendiri, nominal akun bank milik Vanessa tiba-tiba meningkat drastis. Bahkan Vanessa bisa merenovasi rumah peninggalan orang tuanya, membeli keperluan dan untuk pengobatan Lisa. Vanessa tidak menyangka jika Leonard memberikan sesuatu yang sangat berlebihan. Padahal Vanessa hanya berharap agar bisa membayar perobatan Lisa, namun Leonard sepertinya memberikan lebih.

Walaupun, Vanessa belum memberikan apapun kepada pria itu. Memuaskannya saja belum, dan di dalam benak Vanessa ia masih ingin melanjutkan sesuatu yang tertunda tempo hari.

"Hei, dari mana kau mendapatkan uang banyak?" Tanya Audrey, sahabatnya itu langsung menerobos masuk ke dalam kamarnya dan mengambil sebuah potong pizza milik Vanessa.

Vanessa hanya tersenyum ke arah Audrey, namun seketika wajah Audrey berubah dan melotot kepada Vanessa.

"Tidak mungkin..." ucap Audrey tak percaya.

"Ya..." Vanessa mengangguk seraya tersenyum lebar.

"Tidak mungkin!!!" Audrey menjerit girang, ia tidak percaya akhirnya Vanessa melakukannya juga dengan Mr. Watson.

Duda kaya raya itu.

"Oh my Godness... kau tahu, kita harus merayakan hilangnya keperawananmu. Kau sudah dewasa sekarang Ness..." ujar Audrey, gadis itu sangat berantusias dalam hal seperti ini. Vanessa tidak terkejut, mengingat gaya hidup Audrey yang sangat bebas dan kebutuhan ekonominya yang terdesak. Ya, seperti sahabat pada umumnya Audrey memang menyenangkan.

"Tidak, aku bahkan belum melakukannya dengan Mr. Watson." Kekeh Vanessa.

"Yang benar saja?"

"Ya, ku rasa belum." Kata Vanessa berpikir.

"Bagaimana mungkin?"

"Lagi-lagi aku menghancurkan moodnya, dan kemarin adalah yang ke sekian kalinya aku mengecewakannya. Tapi, dia malah membayarku cukup mahal." Jelas Vanessa.

"Itu tandanya dia melaksanakan kontraknya." Sambung Audrey, Vanessa mengangguk setuju.

"Well, aku bilang kau ini sangat beruntung. Dia belum menidurimu, tapi sudah memberi hakmu. Who the hell who f*cking cares, kita hanya butuh materi dari orang-orang kaya itu." Ujar Audrey dengan girang.

"Mau bersenang-senang?" Tawar Vanessa tiba-tiba, tanpa berpikir panjang Audrey lalu mengangguk.

Pepatah mengatakan, ikatan persahabatan itu lebih kuat dari pada ikatan keluarga. Dan Vanessa ternyata menyadari hal itu, dirinya dan Audrey memang memiliki banyak kesamaan. Selera berpakaian, makanan dan juga cara bicara mereka mulai terdengar sama, bahkan jika ia harus menjadi jalang hanya untuk bisa menyamai sahabatnya itu.

"Ha...ha...ha..." suara tawa kecil Audrey dan Vanessa berhasil menyita perhatian publik saat mereka tengah berbelanja di sebuah pusat perberlanjaan, menenteng beberapa tas belanja yang isinya produk dan barang-barang keluaran ternama. Vanessa baru menyadari bahwa Audrey ternyata semenarik ini, semangat gadis itu tidak ada habisnya. Seakan api terus menyala dalam diri gadis itu.

"Kau mau?" Vanessa membuka mulutnya saat Audrey menyuapinya dengan sebuah anggur, kini mereka tengah berada di dalam sauna. Merawat tubuh adalah hal yang paling penting kata Audrey, karena sekarang Vanessa adalah milik seorang pria yang kaya raya dan sudah pasti seleranya bukan lagi gadis pelayan cafe yang kusut.

Salon, tempat dimana surga para wanita memanjakan diri. Perawatan tubuh dari ujung kepala hingga kaki, semua yang Vanessa lakukan hari ini sudah lama tidak ia rasakan semenjak kebangkrutan mendiang Ayahnya dulu. Dan kini, Vanessa mendapat kebahagiaan itu kembali bersama seorang sahabat baru.

"Kau tahu Ness, aku bahkan tidak pernah mendapat bagian sebanyak itu." Ujar Audrey, dua wanita cantik berambut pirang itu tengah memakan es krim. Duduk di pinggiran kafe seraya melihat pemandangan kota New York yang sangat padat di malam hari.

"Apa aku berbeda?" Tanya Vanessa penasaran.

"Tidak, ha... ha... kau gadis bodoh, berbeda dalam arti yang baik." Balas Audrey dengan gelak tawa.

"Oh..." Vanessa hanya mengangguk bingung seraya memakan es krimnya.

"Mungkin karena aku terlalu jalang.. maksudku, pria-pria yang membayarku hanya menganggapku seperti itu...."

"...tapi kau, kau sangat berbeda. Kau sangat polos dan suci, itulah sebabnya Mr. Watson memperlakukanmu bak seorang Putri kerajaan dan diperlakukan bak porselen mahal." Jelas Audrey, Vanessa terlihat berpikir. Mungkin ada benarnya, dan mungkin juga tidak.

Karena Mr. Watson memperlakukannya dengan kasar di saat permainan, namun belum menyentuhnya karena Vanessa yang membuat mood pria itu berubah. Jadi, Vanessa rasa dirinya dan Audrey sama saja. Hanya karena Vanessa masih dalam status perawan dan belum ternodai oleh pria lain, jadi Mr. Watson memberikan hak yang sangat fantastis seperti ini.

Tapi bagaimana dengan kontrak?

Vanessa melirik Audrey sekilas, benar... di sisi lain hal itu tidak benar.

Lalu, diriku ini Jalang yang seperti apa? Batin Vanessa.

"Ada yang ingin aku ceritakan kepadamu..." ucap Vanessa tiba-tiba. Melihat dari raut wajah gadis itu, sepertinya Vanessa serius dan Audrey segera mendekat ke arah Vanessa.

"Kontrak ini... entahlah, aku tidak tahu apa aku sanggup." Vanessa menundukan kepala, Audrey yang merasa sahabatnya rapuh lalu menyandarkan kepalanya di bahu Vanessa dan memeluk gadis itu.

"Apa yang membuatmu ragu Ness?"

Vanessa menarik nafas dalam-dalam, lalu menceritakan semuanya bahwa ia tidak dapat menahan gejolak dalam dirinya. Ia juga menginginkan Mr. Watson, dan hal itu yang membuat Vanessa tidak dapat mengendalikan diri dan melewati aturan yang ada di dalam kontrak tersebut. Salah satunya adalah menyentuh Mr. Watson.

Jika Mr. Watson adalah pria kaya yang gendut dan jelek, mungkin Vanessa tidak akan selepas itu. Tapi bahu Mr. Watson seperti sebuah magnet untuknya, kekar dan membuatnya ingin menggigit bibirnya sendiri.

"Entahlah... pesona Mr. Watson membuatku gila."

"Dan mungkin dia akan menganggapku aneh karena telah melewati batas" sambung Vanessa, tubuhnya terasa hangat karena pelukan Audrey meski hari sudah mulai larut dan dingin.

"Dia tahu kau belum terjamah Ness, dia paham..." tukas Audrey menyemangati.

"Lalu mengapa dia marah dan berhenti tiba-tiba?" Tanya Nessa.

Audrey mengembuskan nafas kasar, Vanessa sama sekali tidak mengerti apapun.

Audrey kemudian beranjak dari zona nyamannya di bahu Vanessa, menyejajarkan duduknya dengan gadis itu.

"Dengarkan aku Ness, kembali ke prinsip awal bahwa ini semua hanya bisnis. Kau menyediakan jasa, dan si pak tua kaya raya itu adalah pembelinya. Bagaimana, hm?" Setidaknya, Vanessa beruntung memiliki Audrey. Gadis itu selalu berhasil membuatnya tersenyum dan kembali ke realita dunia bahwa Mr. Watson hanya seorang Pembeli.



***

To be continue

30 Juni 2020

Dating His FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang