11. Waiting

9.3K 512 13
                                    

Vanessa duduk termanggu di depan cafe setelah cafe tutup di sore hari, beberapa hari berlalu. Setelah ia menyerahkan surat kontrak itu, atau lebih tepatnya, menitipkan surat kontrak. Tidak ada tanggapan, tidak ada kabar, Vanessa bahkan ragu jika Mr. Watson masih memberikan penawaran itu, atau mungkin pria itu sudah lelah menunggunya, dan kontrak itu, sudah tidak berlaku.

"Hah..." gadis cantik itu menghembuskan nafas kasar, seharusnya dia tidak terlalu jual mahal kepada Mr. Watson. Maksudnya, siapa dia? Hanya gadis desa yang kebetulan dilirik oleh pria kaya itu. Seperti negeri dongeng, dan Vanessa maju mundur akan sebuah kesempatan emas itu. Yang mungkin dapat memperbaiki hidupnya, terutama hidup Lisa.

Vanessa menggenggam ponselnya, ingin sekali bertanya keadaan Lisa. Namun ia belum memiliki uang, yang Lisa butuhkan hanya uang untuk menebus biaya rumah sakit dan obat-obatanya. Bukan pertanyaan kabar yang menurutnya tidak terlalu penting, mungkin itu penting bagi Lisa. Tapi baginya, hal itu sama sekali tidak akan membuat keadaan Lisa membaik.

"Ness... kau baik-baik saja?" Audrey duduk di sebelahnya, membawakan secangkir kopi dan Vanessa berterimakasih untuk itu.

Lagi-lagi, Vanessa hanya bisa bercerita betapa pahitnya hidupnya kepada sahabatnya itu. Bagaimana ia bisa mencari pekerjaan tambahan tanpa diketahui oleh Mr. Clark. Curhatan hati yang selalu berakhir kesedihan, memang, tidak banyak gadis di dunia ini yang selalu beruntung, Vanessa contohnya.

"Entahlah Ness, aku telah membantumu dan kau menyiakan kesempatan itu." ujar Audrey, Vanessa membenarkan hal itu.

Jika saja ia tidak terlalu canggug pada Mr. Watson kala itu,

Jika saja ia sedikit agresif kepada pria dewasa itu,

Dan jika saja ia tidak terlalu merasakan perasaannya kala itu,

Mungkin saat ini ia sudah membayar obat-obatan Lisa dan keadaan wanita tua itu akan sedikit membaik.

Tapi, dia amatiran. Dia tidak terlalu mengerti dunia malam, tidak seperti halnya Audrey. Audrey memiliki segala hal yang dibutuhkan pria, terutama pria hidung belang di kota ini.

"Eh, kau ingat kata Mr. Clark tadi?" Tanya Audrey seketika.

"Apa?" Audrey heran, Vanessa sama sekali tidak fokus pada pekerjaannya. Entah apa yang gadis itu pikirkan, Lisa yang sedang sakit, atau memikirkan Leonard?

"Malam ini, akan ada jamuan di tempat para pengusaha kaya raya, dan Mr. Clark beruntung mendapat kesempatan itu. Dan, hmm, mungkin saja kau bisa melirik salah satu dari mereka." goda Audrey, ya, sahabatnya itu selalu berusaha membuatnya terjun ke dunia seperti itu. Dan mungkin hanya hal itu yang dapat Audrey lakukan untuk membantunya, Vanessa maklumi hal itu.

Lagi pula, sebenarnya dia sama sekali tidak tertarik dengan pria lain, meski lebih kaya atau lebih tampan. Katakanlah dirinya naif, tapi, dia hanya tertarik dengan pesona Leonard.

"Apa kita akan jadi pramusaji?" Tanya Vanessa.

"Ya, tapi, kita tidak akan memakai seragam seperti maid seperti ini. Kata Mr. Clark, kita bisa mengenakan dress bebas sesuai acara yang ada disana." ujar Audrey, Vanessa mengangguk.

Untuk kedua kalinya, ia harus meminjam dress Audrey. Namun malam ini, Vanessa tidak ingin polesan apapun di wajahnya.

Dia hanya ingin bekerja, meskipun Audrey terus mendorongnya. Dia sama sekali tidak memiliki semangat, apalagi, tanpa Mr. Watson.

Vanessa beserta rombongan bersiap di sebuah hotel, mempersiapkan jamuan kopi yang selalu menjadi andalan Mr. Clark.

Menunggu beberapa menit, akhirnya acara dimulai. Vanessa menjaga sebuah stand kopi di sebelah barista, senyuman ramah selalu ia tunjukan saat bekerja. Dan lemburan malam ini, akan sedikit menambah penghasilannya dan ia bersyukur akan hal itu.

Beberapa orang memang sangat beruntung, bisa mengenakan dress mahal dengan segala aksesoris mereka yang sudah pasti harganya fantastis.

Sementara Vanessa hanya menjadi pramusaji di balik meja kopi itu.

Vanessa membantu barista mempersiapkan segala sesuatu, dengan gesit. Tanpa sadar, sedari tadi gerak-geriknya diawasi oleh seseorang.

Tak lama, seseorang tadi melangkah menuju meja kopi tersebut. Kopi yang telah lama tidak ia nikmati karena sesuatu hal. Karena dia berusaha mati-matian menghindari sesuatu sebelum membuatnya makin gila.

Dan sialnya, malam ini, kegilaannya sepertinya akan kembali. Bersama seorang gadis yang ia kagumi semenjak beberapa hari lalu itu.

"Cappucino..." suara besar itu mengagetkan Vanessa, saat kedua matanya melirik ke arah suara. Tubuhnya terdiam,

Ia berusaha profesional meski tubuhnya sedikit kikuk saat ini.

Mengambilkan sebuah cangkir untuk cappucino permintaan tuan besar itu.

Saat kopi terhidang, Leonard hanya berdiri disitu sambil menyeruput kopi dan menatap Vanessa. Ditatap seperti itu, membuatnya sedikit salah tingkah. Apalagi malam ini, dia tidak cantik tanpa make-up. Seharusnya ia mendengarkan kata Audrey tadi sore, tapi lagi-lagi ia mengabaikannya.

Vanessa pikir, tidak akan ada Mr. Watson. Tapi dia salah, Mr. Watson selalu ada dimana-mama. Seolah kota ini miliknya dan dia akan berada dimana Vanessa berpijak.

"Ada yang lain Sir?" Tanya Vanessa, ingin sekali Mr. Watson pergi sebelum membuatnya bertambah kikuk.

"Ya, berdansalah denganku!"

Deg!

Vanessa tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.

Pria itu mengajaknya berdansa, dia sama sekali tidak bisa berdansa. Vanessa pernah belajar berdansa sewaktu kecil, saat mendiang Ayahnya belum jatuh bangkrut seperti saat ini. Tapi itu, sudah lama sekali. Dia bahkan tidak yakin dapat mengingat gerakannya lagi.

Vanessa menoleh ke arah teman prianya, barista itu hanya menganggukan kepala memberi tanda 'pergilah dan terima ajakan pria kaya itu'.

Vanessa menelan salivanya sendiri, ia juga tidak mungkin menolaknya. Akan sangat tidak bijak bagi pekerjaannya, dan pada akhirnya, ia menerima ajakan pria itu dan berhasil membuat Leonard menyunggingkan senyum.

Sejujurnya, Vanessa sedikit malu. Saat pria kaya itu menyentuh jemarinya dengan lembut dan mengajaknya bergabung dengan orang-orang yang sedang asik bercanda.

Dia hanyalah pramusaji, dan Leonard adalah seorang yang sangat berpengaruh di kota ini. Meski pakaian Vanessa tidak ada bedanya dengan mereka sama sekali, tapi tetap saja, dia sedikit gugup. Ditambah lagi, pria di hadapannya ini terus menatapnya secara intens.

Jemarinya dengan lembut menyentuh pinggul Vanessa, mereka bergerak dengan pelan sesuai alunan musik klasik. Dan beruntung Vanessa tidak melupakan gerakannya.

"Kebetulan sekali bisa bertemu denganmu malam ini." ujar Leonard, wajahnya tepat berada di depan Vanessa. Vanessa hanya menunduk malu meski kini sebelah tangannya ada di dada pria itu.

"Ya Mr. Watson." jawab Vanessa formal, dan hanya sekenanya. Sesungguhnya, dia tidak tahu harus berkata apa. Berbincang seperti apa, karena kelas mereka sangat jauh berbeda.

"Kopinya sangat manis." Leonard menambahkan, lagi-lagi Vanessa hanya mengangguk.

"Ya, Mr. Clark yang memiliki resep kopi itu." jawab Vanessa, masih kikuk meski tubuhnya bergerak indah sesuai irama.

"Manis, sepertimu..." tambah Leonard lagi, Vanessa sedikit terkesima. Ia menatap wajah tampan yang baru saja berkata bahwa dirinya manis.

Seakan terbuai, Vanessa seperti ingin mengecup bibir pria yang telah lama menghilang itu.




***

To be continue

15 November 2019

Dating His FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang