13. Desire

10.5K 465 20
                                    

Gadis berambut pirang itu duduk di sebuah taman, kedua kakinya tak berhenti bergerak pertanda dirinya menahan kegugupan. Setelah pesta yang menyebabkan klimaksnya tertunda, Vanessa semakin menggila dibuatnya. Memikirkan Mr. Watson dengan jari berurat dan lengan besarnya ketika mereka berada di sebuah toilet, kejadian itu sangat panas dan juga, sangat memabukkan.

Sensasi yang tidak biasa ketika ia harus bercumbu secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh orang banyak, menahan desahan dan gairah yang tidak terkontrol, dan pria itu malah semakin gencar menggoda bagian yang paling sensitif miliknya.

"Hah..." Vanessa mendesah pelan, lalu tertunduk lesu.

Entahlah, hal ini sangat bertolak belakang dengan rencana awal yang ia buat.

Seharusnya ini sangat mudah, berkencan satu malam dengan Mr. Watson dan mengambil uangnya. Lalu pergi menghilang dari kehidupan pria itu karena yang Vanessa butuhkan hanya kebutuhan materi, itu pun bukan untuk dirinya.

Bukan drama tarik ulur yang sampai saat ini tidak berujung, bahkan tidak pernah terlaksana.

Audrey menganggap ini hanyalah sebuah jasa, dan mungkin saja Mr. Watson pun berpikir demikian. Hanya saja, ini tidak mudah bagi Vanessa. Bukan hanya karena ini adalah pengalaman pertama bagi Vanessa, tapi karena sentuhan pria itu.

Vanessa telah butakan oleh sentuhan Mr. Watson dan melupakan rencananya.

Beberapa kali pertemuan dengan pria itu telah membuat kedua kakinya terasa lemas, bahkan berhadapan dengan Mr. Watson adalah hal yang paling ia takutkan. Karena pesona pria itu, membuat Vanessa menginginkan pria itu lebih dari yang ia harapkan.

Dan hari ini...
Tekad Vanessa telah bulat, mendatangi pria itu di apartemennya seperti ajakan Mr. Watson sendiri saat di pesta dansa.

Tidak ada gaun, tidak ada riasan, tidak ada pakaian seksi dan sepatu heels. Hanya dirinya, Vanessa ingin menjadi dirinya sendiri. Karena semua polesan itu terlihat palsu dan mungkin saja dengan cara ini Vanessa bisa sedikit mengendurkan ketegangannya selama berhadapan dengan pria itu. Walau ia masih bertanya-tanya dalam hati, akankah Mr. Watson sudi meliriknya dengan keadaannya yang seperti ini?

Beberapa menit menunggu, akhirnya sebuah kendaraan roda empat berhenti di gedung apartemen. Vanessa telah memperhitungkan semuanya, jam kerja pria itu telah usai. Dan terlihat Mr. Watson akhirnya keluar dari dalam kendaraannya, hanya seorang diri, tanpa pengawalan atau supir pribadi.

Vanessa menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Mengenyahkan semua perasaan ragu dan bimbang, meskipun ia tidak bisa berhenti menggigit bibirnya sendiri ketika melihat lengan besar itu. Punggung lebar yang dulu selalu duduk di meja kafe tempat Vanessa bekerja, kini berada berseberangan jalan dengan Vanessa. Lalu menghilang ketika pria itu memasuki gedung apartemen.

Dan akhirnya, Vanessa berdiri dari bangku taman tersebut. Berjalan menuju Mr. Watson yang tidak mengetahui kunjungan Vanessa, karena Vanessa sadari, pria itu terlalu sibuk, dan pasti tidak akan mengingat apa yang telah diucapkannya di pesta tersebut. Tapi sekarang Vanessa di sini, menepati kontrak yang Mr. Watson buat dan Vanessa akan mendapatkan haknya.

Vanessa terlalu banyak memikirkan hal-hal tentang pria itu, sampai tak terasa kedua kakinya telah membawanya di lantai atas gedung apartemen mewah milik Mr. Watson. Berdiri di depan pintu yang besar dan kokoh, satu lagi kemewahan milik pria itu yang membuat hati Vanessa menciut.

Segera ia mengetuk pintu besar itu sebelum pikirannya berubah lagi, dengan jemari yang sedikit bergetar. Vanessa menunggu, namun tidak ada jawaban dari dalam sana. Mungkin Vanessa kurang keras mengetuknya dan pria itu tidak mendengarnya, jadi Vanessa mencoba mengetuknya lagi dengan sedikit lebih keras. Dan tak lama, lubang kunci berbunyi dan kenop pintu bergerak.

Vanessa reflek mundur sedikit dan menarik nafasnya dalam-dalam, pintu terbuka. Dan lagi-lagi pertemuannya dengan pria itu berhasil membuat kedua kakinya terasa meleleh, Mr. Watson membuka pintu dengan keadaan kemeja yang terbuka.

God help me...

Vanessa merutuk dalam hati, pria itu telah berusia empat puluh tahun. Namun, otot dan tubuh tegap yang terpampang di hadapanya kini tidak memperlihatkan umurnya yang telah sangat tua. Malah mungkin itulah daya tarik Mr. Watson yang sebenarnya, sangat dewasa namun masih bugar.

"Vanessa...?" Gumam pria itu, Mr. Watson tentu tidak menyangka gadis itu berani mendatanginya. Atau lebih tepatnya, menjalani kontraknya.

Suasana sedikit canggung saat ini, Vanessa yang hanya bisa terdiam ketika ditatap Mr. Watson dari atas kepala hingga kaki. Sedikit risih dan juga sedikit malu, Vanessa hanya mengenakan seragam kerjanya yang sebagai pelayan kafe. Menenteng tas selempang di bahu kiri dan rambut pirangnya terurai panjang.

Vanessa baru saja selesai bekerja dan memutuskan untuk mendatangi Mr. Watson tanpa sempat mengganti pakaian atau sekedar menata tampilannya, lagipula ia ingin menjadi dirinya sendiri. Entah pria itu masih menginginkannya atau tidak, semua keputusan ada di tangan Mr. Watson. Karena dia yang membuat kontrak tersebut, kontrak yang telah hilang entah kemana. Namun telah Vanessa sepakati.

"Masuklah...!" Tukas Mr. Watson, mempersilakan gadis itu memasuki tempatnya yang nyaman dan juga sangat tenang. Aroma wangi yang menguar dari rambut pirang itu berhasil mengganggu indera penciuman Mr. Watson saat gadis itu melewatinya, tubuh mungil yang terbungkus rapi dalam balutan seragam kerja tempatnya bekerja sehari-hari. Persis seperti keindahan yang selalu ia lihat sehari-harinya dulu.

Saat Vanessa memasuki apartemen Mr. Watson, seperti biasa semua serba mewah dan juga rapi. Dinding yang mengarah langsung ke jalanan luar, semuanya terlapisi oleh kaca. Sehingga Vanessa dapat melihat padatnya kota New York di sore hari, sangat indah ketika lampu jalanan dan kendaraan berpadu dengan langit senja.

Namun semua rasa takjub itu tergantikan seketika, saat pintu tertutup cukup keras. Menyadarkan Vanessa bahwa ia tengah berada di dalam sangkar Mr. Watson dan pria itu dapat melakukan apa saja, karena itulah yang tertulis di dalam kontrak. Lagi-lagi, Vanessa menahan kegugupannya. Terasa sebuah sentuhan panas berada di punggungnya.

Ketika Vanessa berbalik, pria itu mengambil tas yang ada di punggung Vanessa. Gadis itu bernafas lega, ia pikir akan terjadi sesuatu.

Tapi ternyata, kelegaan Vanessa hanya bertahan sebentar. Nafas pria itu tepat berasa di tengkuknya, Mr. Watson berdiri tepat di belakang Vanessa mengendus aroma wangi dari rambut gadis itu.

"Apa kau mencoba menjadi gadis yang nakal Vanessa? Rokmu terlalu tinggi." Desis pria itu di balik telinga Vanessa, ini adalah seragam kerja Vanessa. Tentu bentuknya sudah diatur sedemikian rupa.

"Dan kemeja itu, kulihat tak cukup untuk menahan beban besar dari payudaramu..." tambahnya, seketika perasaan Vanessa semakin menggila. Nafasnya mulai tidak teratur dan sedikit mengeluarkan desahan.

Tiba-tiba, setelah geraman nakal Mr. Watson di telinga Vanessa. Pria itu menyentak tubuh belakang Vanessa dan menekan pundaknya ke atas meja, membuat posisi gadis itu menjadi telungkup di atas meja dengan kedua kaki masih berdiri di depan Mr. Watson.

Vanessa mendesah, saat Mr. Watson menarik kedua tangan Vanessa dan menguncinya di balik tubuh gadis itu.

"Well, aku lihat kau tidak punya banyak waktu untuk bermain Ness.. jadi akan kita percepat permainan roleplay ini..." kata Mr. Watson dengan suara besarnya, pria itu tak berbasa-basi kali ini seperti pertemuan mereka sebelum-sebelumnya. Dan semakin lama, Mr. Watson semakin menunjukan sisi gelapnya kepada Vanessa.

Gadis itu juga mulai menyadari, ada sesuatu yang menempel di kakinya menjalar hingga bokongnya. Sebuah riding crop yang kapan saja siap membuat bokong indah itu memerah.

***

To be continue

19 Juni 2020

Dating His FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang