"Perkenalkan, namaku Nathan..."
Vanessa tak berkedip memandang wajah pria yang bernama Nathan tersebut, bukan karena parasnya yang tampan dengan rahang yang kokoh sama seperti Mr. Watson. Tapi karena senyumannya yang benar-benar tulus dan terlihat bersahabat, entahlah. Vanessa tak pernah memiliki sahabat dekat selain Audrey.
"Kau pasti punya tujuan datang kemari?" Tanya Vanessa, sebagian tubuh gadis itu masih bersembunyi di balik pintu. Nathan dapat menyimpulkan jika Vanessa adalah gadis yang pemalu, bahkan Nathan sempat merasakan jika jemari Vanessa terasa dingin saat mereka berjabatan tangan. Meskipun begitu Nathan hanya tersenyum, senyumannya begitu meneduhkan hati Vanessa ketika pria itu memperlihatkan deretan gigi yang rapih disertai sedikit kerutan tipis di area mata. Terbukti jika pria itu selalu tersenyum.
"Maaf mengganggumu, tapi aku hanya ingin mengambil barang mendiang Ibuku yang tertinggal. Itupun kalau masih ada.." tukas Nathan, cara berbicara pria itu sopan namun sangat ringan. Seolah Vanessa merasa Nathan bukanlah orang asing.
"Uhm... baiklah, silakan masuk." Ujar Vanessa, ia membuka pintu dengan lebar dan mempersilakan pria itu memasuki rumah. Vanessa masih berpegangan pada pintu saat tubuh tinggi itu melewati dirinya, ada aura aneh saat Nathan melewatinya seraya melihat ke arah Vanessa yang mendongak, balik menatap Nathan. Tubuh pria itu tegap dan tinggi, walau bahunya tak sebesar milik Mr. Watson.
Astaga Vanessa apa yang kau pikirkan?
Vanessa mengoceh di dalam hati, di saat seperti ini ia malah memikirkan bahu besar milik Mr. Watson.
Nathan melihat sekeliling membelakangi Vanessa yang masih berada di balik pintu, lalu pria itu berbalik dan meminta ijin pada Vanessa untuk mencari benda tersebut.
Vanessa mengangguk menyetujui, sejujurnya ia kagum. Pria itu sangat sopan, tidak seperti Mr. Watson yang diktator serta memerintahkan dirinya apa yang harus dan tidak dilakukan. Vanessa mengerti, sebagian besar orang di kota New York selalu seperti itu. Mungkin karena tuntutan pekerjaan atau karir, tapi Nathan menunjukan hal yang sebaliknya.
Vanessa hanya menghembuskan nafas, teringat akan Mr. Watson. Jika pria itu tahu Vanessa memasukan pria lain ke dalam rumah ini, ia akan murka. Dan lebih buruk mungkin ia akan mengusir Vanessa dari rumah ini, hal yang Vanessa takutkan menjadi seorang gadis simpanan adalah dibuang.
Vanessa hanya berdiri di ambang pintu, tak ingin mengikuti Nathan yang sedang mencari sesuatu di lantai atas yaitu tempat yang menjadi kamar Vanessa. Ia khawatir, jika tiba-tiba Mr. Watson datang dan mendapati dirinya berduaan di dalam rumah dengan pria asing. Apalagi rumah ini adalah rumah pemberian Mr. Watson, lebih tepatnya rumah pinjaman.
Selang tak berapa lama kemudian, Nathan menuruni tangga dan membawa sesuatu di tangannya. Sebuah lukisan mawar merah dengan ukuran yang tidak terlalu besar, lukisan tersebut tergantung di kamarnya. Vanessa pikir itu adalah bagian dari dekorasi rumah, namun ternyata barang yang tertinggal.
"Well, ini adalah lukisan yang dibuat oleh Ibuku. Dia adalah seniman..." kata Nathan yang kembali mendatangi Vanessa seraya melihat ke arah lukisan tersebut dengan senyum tulus.
Vanessa yang melihat hal tersebut seketika terenyuh, Nathan terlihat seperti orang baik. Saat pria seumurannya terlalu sibuk dengan hal duniawi, Nathan malah mencari benda yang berharga bagi orang terdekatnya. Terlihat sekali jika Nathan adalah sosok yang peduli.
"Kau mau secangkir kopi?" Tawar Vanessa, seketika kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Vanessa ingin teman berbicara, sendiri di rumah besar ini dan jauh dari Audrey membuatnya kesepian. Dan mungkin Nathan bisa sedikit menghiburnya, hanya secangkir kopi. Mr. Watson tidak akan mengetahuinya.
Akhirnya, Nathan menyetujuinya.
Vanessa mengajak Nathan menuju dapur, pria itu duduk di meja makan sementara menunggu Vanessa membuat dua cangkir kopi. Gadis itu terlihat bahagia, jarang sekali ia menemukan orang-orang yang bersahabat di kota yang sangat sibuk ini. Nathan pun tidak ingin melewatkan secangkir kopi yang aromanya sangat menggiurkan.
"Kau punya mesin kopi?" Tanya Nathan saat Vanessa membawakannya secangkir kopi dan duduk berseberangan dengannya.
"Ya." Jawab Vanessa singkat, ia memiliki banyak rahasia yang tentunya tidak harus ia bagi dengan Nathan. Dan mesin kopi itu juga pemberian Mr. Watson.
"Apa dulu Ibumu tinggal di sini?" Tanya Vanessa mengalihkan pembicaraan.
Nathan mengangguk, dahinya mengernyit setelah menyeruput sedikit kopi dengan asap yang masih mengepul tersebut.
Vanessa tersenyum lebar, "hati-hati, itu masih panas." Ujarnya sambil tertawa.
"Ya, kurasa.." pria itu turut tertawa dan memegang bibirnya.
"Ini adalah rumah Ibuku, aku tidak tahu jika Ayahku menjualnya. Dan anehnya, semua perabotan dan letaknya masih sama. Tidak ada yang berubah." Kata Nathan melihat sekeliling.
Vanessa hanya mendengarkan, ia berpikir mungkin Mr. Watson tak ingin repot mengatur kembali rumah ini saat membelinya untuk Vanessa, dan lagi pula pria itu sangat sibuk. Tentu hal kecil seperti ini tidak akan dihiraukan oleh dia.
"Aku turut prihatin..." ucap Vanessa.
"Terimakasih, Ibuku suka menyendiri di rumah ini meskipun kami memiliki rumah besar. Dia bilang, rumah ini memberinya banyak inspirasi dalam melukis." Kata Nathan.
"Ibumu pasti orang yang baik..."
"Sangat baik dan dermawan... dan kau tahu, ada hal aneh yang lainnya selain perabotan rumah ini?" Kata Nathan.
"Apa itu?"
"Wajahmu mirip seperti Ibuku, saat kau membuka pintu rumah ini dan perabotan masih sama. Aku merasa Ibukulah yang ada di hadapanku saat ini." Tukas Nathan, netra kecokelatan itu terlihat mengingat sesuatu, dan Vanessa dapat menyimpulkan bahwa pria itu teringat mendiang Ibunya. Sama seperti Vanessa yang kehilangan Ibu sekaligus sosok Ayah.
Vanesaa berusaha tersenyum, mencoba menghibur Nathan sebelum rumah ini menjadi sangat sepi karena mereka berdua terlarut dalam kesedihan.
"Maksudmu kau ingin aku menjadi Ibumu?" Guyon Vanessa, mereka berdua tertawa ringan.
"Baiklah, aku akan mampir kesini setiap saat jika kau mau." Balas Nathan, jemari pria itu masih menggenggam cangkir kopi yang tergeletak di atas meja sambil bersenda gurau dengan Vanessa.
"Aku bisa membuatkanmu kopi setiap hari." Balas gadis itu.
Mereka lalu tertawa, seperti sepasang sahabat yang telah lama tidak bertemu. Sangat akrab, seolah Vanessa lupa akan beban hidup dan merasa bahagia bercengkrama dengan Nathan. Pria yang baru saja ia temui dan kebetulan memiliki nasib yang sama sepertinya. Tidak memiliki Ibu...
"Apa kesibukanmu Nate?"
"Bolehkan aku memanggilmu 'Nate'?" Tanya Vanessa.
"Tentu saja, asalkan kau tidak memanggilku dengan sebutan jerapah." Canda pria itu.
"Kenapa jerapah?" Tanya Vanessa penasaran.
"Karena tubuhku, tinggi. Teman-temanku sering memanggilku seperti itu, well itu hanya guyonan. Tidak usah terlalu dipikirkan, aku adalah seniman. Pelukis lebih tepatnya, meskipun ayahku tidak menyetujui hal itu." Jelas Nathan.
"Kenapa?"
"Karena ia ingin aku melanjutkan usaha keluarga.." kata Nathan.
***
To be continue
10 Agustus 2020
***
Pilih pria yg hot, cool kaya Leonard (dispenser kali)
Atau
Pria yg humoris dan hangat kaya Jonathan ☻❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Dating His Father
Любовные романыTersedia juga di platform Dreame (lengkap) Bertemu dengan seorang Sugar Daddy yang mengikat kehidupan Vanessa dengan sebuah kontrak bukanlah hal yang mudah, awal dari keinginan untuk dapat hidup terjamin dengan cara yang cepat karena tekanan kehidu...