19. Getting Closer

7.8K 436 18
                                    

Audrey menelan pil pahit...

Saat dirinya buru-buru keluar dari kafe mendapati kendaraan Mr. Watson baru saja pergi, pria itu bahkan belum sempat meminum kopi pesanannya yang telah Audrey buatkan khusus hanya untuknya. Bukan hal itu yang membuatnya kesal, namun ketika ia melihat bahu mungil yang duduk di jok belakang bersama Mr. Watson.

"Mr. Clark, apa kau mengijinkan Vanessa pergi di saat jam kerja?" Protes Audrey yang baru saja berlari masuk guna menemui bosnya.

Pria paruh baya itu hanya tersenyum seraya membuka lembaran koran yang ia pegang, "Mr. Watson memesan jamuan kopi di rumahnya, dia bilang untuk urusan bisnis dan kutugaskan Vanessa untuk melayani." Jawab pria gendut itu dengan santainya.

Audrey mendengus kesal, "kau sama saja menjual wanita di sini!" Cecar Audrey.

Terganggu dengan perkataan Audrey, Mr. Clark akhirnya berdiri dan meletakan korannya yang terasa tidak menarik lagi setelah mendengar hal tersebut.

"Berhati-hatilah dengan ucapanmu, Drey. Aku menjual kopi bukan wanita, dan aku melayani setiap pelangganku dengan baik...."

Mr. Clark maju selangkah demi mendekatkan dirinya dengan Audrey dan berbisik, "...mungkin kau lupa bagaimana caranya berterimakasih Audrey, tapi aku tidak butuh itu, aku hanya butuh kau menghormatiku sebagai orang tua. Tentu kau tidak lupa bagaimana dulu aku memungutmu dari jalanan tanpa pekerjaan!" Desis Mr. Clark.

Pria itu lalu pergi setelah berhasil membuat Audrey tertunduk malu, entah mengapa semenjak malam itu perubahan Audrey menjadi sangat drastis. Cemburu akan keindahan Vanessa dan berharap Mr. Watson akan melirik ke arahnya meski hanya sedikit saja, Audrey bahkan hampir saja mengacaukan pekerjaannya sendiri, dan mengecewakan Mr. Clark.

...

Vanessa menahan rasa gugupnya, berulang kali ia melipat-lipat ujung rok kerja yang sangat minim bahan tersebut. Hampir memperlihatkan seluruh bagian kaki jenjangnya kepada Mr. Watson, Vanessa tidak yakin jika pria itu memperhatikan hal kecil seperti itu. Karena Mr. Watson memiliki segalanya dan tentunya ia terbiasa melihat kaki wanita manapun.

Namun tetap saja, Vanessa masih belum terbiasa berdekatan dengannya.

"Mau minum?" Tawar pria itu tiba-tiba.

"Tidak, terimakasih." Vanessa menggeleng lemah, ia hanya tak habis pikir Mr. Watson muncul secara tiba-tiba dan memesan kopi beserta pelayannya. Atau mungkin pria itu sengaja melakukan hal itu.

Kendaraan roda empat tersebut berbelok ke sebuah perumahan elit, dan berhenti di sebuah rumah yang memiliki halaman luas namun tak memiliki batas pagar. Rumah berbahan dasar kayu namun dengan arsitektur yang indah, terlihat sepi dan tertutup. Ketika Vanessa menapakan kaki di halaman rumput yang luas, seketika ia teringat akan rumahnya dan rindu pada Lisa.

Entahlah, segala hal tentang Mr. Watson selalu menuntutnya ke rumah. Mungkin karena Mr. Watson memiliki segalanya seperti mendiang Ayah dan Ibunya dulu.

Vanessa membuntuti Mr. Watson, seharusnya ia menjadi pelayan bagi pria itu. Namun Mr. Watson bersikeras agar semua kopi pesanan Mr. Watson dibawakan oleh supir, Vanessa hanya menurut dan mengikuti punggung pria itu.

Hingga akhirnya, Mr. Watson mengeluarkan kunci dan membuka pintu rumah. Saat memasuki rumah tersebut Vanessa menghirup aroma khas kayu yang sejuk, seperti rumahnya dulu. Dan perabotan yang unik jauh dari kesan mewah, sederhana namun berkesan.

"Kau suka?" Tanya pria itu berdiri tak jauh menatap Vanessa.

Seketika semuanya diam, ini adalah momen awkward bagi mereka berdua. Mr. Watson hanya ingin Vanessa merasa nyaman ketika berada di dekatnya, agar mereka berdua memiliki hubungan yang baik meskipun berdasarkan kontrak atau sekedar bisnis. Namun sepertinya Mr. Watson salah dalam bertingkah, sekarang ia sudah seperti Ayah yang berniat memanjakan Putrinya dalam segala hal. Dan hal itu cukup membuat Mr. Watson malu.

"Baiklah, kau menyukainya." Racau pria itu dan kembali melihat sekeliling, Vanessa bahkan belum menjawabnya.

Tapi, dia benar. Vanessa menyukai tempat ini, jauh dari hiruk-pikuk kota New York. Sangat tentram dan damai, Leonard telah berusaha keras agar gadis itu nyaman dan sedikit rileks berada bersamanya. Mungkin itulah satu-satunya cara agar mengurangi kegugupan Vanessa.

Mr. Watson menuju dapur, mempersiapkan mesin kopi dan beberapa campuran kopi sesuai pesanannya. Vanessa yang mendengar hal itu langsung menuju dapur dan membantu Mr. Watson.

"Tidak sir, kumohon... ini adalah tugasku." Ujar Vanessa, namun Leonard menepis perlahan tangan gadis itu dan tersenyum hangat.

Vanessa mengernyitkan dahi, kemana sisi kasar pria itu? Apa karena Vanessa masih belia perlakuan Mr. Watson berbeda? Vanessa tidak ingin menimbulkan masalah seperti hari-hari kemarin, lalu menuruti pria yang sudah berusaha keras untuk membuatnya nyaman tersebut.

Meskipun Vanessa dapat melihat, Mr. Watson tidak begitu lihai memegang peralatan dan meracik kopi tersebut.

Vanessa tersenyum...

"Apa itu lucu?" Cecar Leonard ketika melihat senyum di wajah gadis itu sementara kedua matanya melihatnya bekerja.

"Tidak, bukan begitu. Kau harus meletakan bubuk cokelat di atas kopi, bukan malah mencampurnya." Ujar Vanessa seraya menahan tawanya, dan entah mengapa hal itu terasa manis bagi Leonard. Bahkan lebih manis daripada bibir gadis itu...

"Baiklah, ini kopi versiku sendiri." Balas pria itu lalu menyerahkan secangkir kopi kepada Vanessa.

"Lihat, rasanya lebih nikmat dicampur bukan?" Kata Leonard menyesap kopinya, Vanessa hanya mengangguk seraya menyicipi kopi tersebut.

"Untuk apa kau membawaku kemari Mr. Watson?" Tanya Vanessa, Leonard akui setelah ia memperlihatkan kelembutan pada gadis itu. Kini Vanessa sedikit lebih banyak bicara dan tidak gugup, seharusnya Leonard melakukan ini dari jauh-jauh hari bahkan sebelum Leonard memberikan kontrak. Ternyata Vanessa hanya membutuhkan kelembutan, dia bukan tipe gadis seperti Audrey yang agresif dan menginginkan kemewahan serta seks panas di atas ranjang.

"Aku ingin kau tinggal di sini..." balas Mr. Watson, seketika merubah raut wajah Vanessa yang ceria menjadi bingung.

Leonard buru-buru meletakan cangkir kopinya dan menggenggam tangan gadis itu, "kau tidak bisa begitu saja mengambil pekerjaan yang sudah kucari dengan susah payah dan Mr. Clark pasti akan sangat kecewa padaku-"

"Hey, dengarkan aku!" Leonard memotong perkataan Vanessa dengan nada yang sedikit lembut, tidak ingin membuat gadis itu takut dan kembali gugup.

"Kau hanya mematuhi kontrak bukan, aku akan bicara pada Clark. Tapi hari ini, kau masih menjadi pelayanku..." ujar Leonard, seketika Vanessa tersadar akan kontrak tersebut.

Vanessa tidak bisa berbuat banyak, setelah Mr. Watson memintanya untuk pindah ke rumah ini ia jadi berpikir. Bahwa ia telah menjadi simpanan Sugar Daddy yang tampan dan juga sangat panas itu, semuanya terlihat sempurna. Namun yang Vanessa takutkan ketika kesempurnaan ini berakhir, dan akhirnya Mr. Watson akan membuangnya. Sama seperti wanita-wanita lain.






***

To be continue

28 Juli 2020

Dating His FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang