"Apa yang terjadi pada Ibumu?"
"Kecelakaan.."
"Oh, aku turut berduka."
Sejujurnya, Vanessa tak lagi merasa sedih akan kepergian orang tuanya. Semenjak bertemu dengan orang-orang baik seperti Mr. Clark dan Audrey, Vanessa menjadi lebih sedikit lega karena masih ada yang membantu. Ditambah Mr. Watson yang selalu memenuhi segala kebutuhan Vanessa dan Lisa, dan sekarang Vanessa dipertemukan oleh sosok pria muda yang membuat perasaannya bahagia di setiap harinya.
Saat Mr. Watson tak mendatanginya selama hampir satu minggu, Nate selalu datang kemari meski hanya berbincang atau sekedar untuk menikmati kopi buatan Vanessa. Memikirkan Mr. Watson, Vanessa tak ingin mengganggu pria itu. Dirinya mengerti, Mr.
Watson adalah pengusaha yang sangat sibuk. Pria itu akan datang jika menginginkan Vanessa.Namun sekarang, ia sangat bahagia memiliki sahabat baru...
"Kau seperti anak kecil!" Cecar Vanessa disertai tawa kecil, Nathan membuat ukiran di sebuah pohon besar yang tak jauh dari rumah Vanessa. Menggunakan pisau kecil, jemari pria itu dengan lihai mengukir namanya dan nama Vanessa.
"Kau mau menjadi model lukisanku? Aku butuh model wanita berdiri di samping pohon besar ini..."
"...pemandangan di baliknya juga sangat indah." Tukas Nathan seraya melihat sekeliling, pagi yang cerah ditambah rona cerah di wajah Vanessa, Nathan tidak ingin melewatkan momen ini. Berbagai inspirasi muncul di benak Nathan ketika melihat wajah Vanessa yang sangat segar dan cantik.
"Di sini?" Vanessa berdiri tepat di samping pohon, meskipun dirinya hanya mengenakan hotpants dan kaos. Nathan menyetujuinya, Nathan bilang itu adalah setelan yang natural, sesuai dengan latar tempat yang diambil.
"Terlalu dekat, kau terlihat seperti hantu pohon dari pada model lukisan, Ness.." protes Nathan saat pria itu duduk di sebuah kursi dan mengatur kanvasnya.
"Ini?" Vanessa sedikit bergeser menjauhi pohon, Nathan hanya mengacungkan jempolnya lalu menggoreskan cat di kanvas. Perlahan dan teliti, sementara kedua matanya terus mengamati objek yang ada di hadapannya. Saat Nathan mulai membuat wajah Vanessa, netra kecoklatan miliknya tak berkedip memandang wajah penuh rona dan ramah senyum tersebut.
Ada sebuah kekaguman tersendiri yang tersirat di benak Nathan, tidak hanya pada lekuk wajahnya yang sempurna namun juga kebaikan dan kepolosan yang ada pada gadis itu. Ditatap seperti itu, membuat Vanessa merasa kedua bola mata Nathan sangat mirip dengan Mr. Watson.
Mengapa setiap saat wajah Mr. Watson selalu terbayang oleh Vanessa?
Nathan berusaha mengambil nafas dalam-dalam, memenuhi rongga paru-parunya yang kian menyempit meski udara di sini sangat sejuk. Berusaha konsentrasi pada apa yang ia kerjakan, bukan pada sesuatu hal lain yang timbul secara tiba-tiba.
"Apa yang membuatmu datang ke New York, Ness?" Tanya Nathan berusaha mengalihkan perhatiannya.
"Uhm... bekerja."
"Oh, ya? Apa pekerjaanmu?" Tanya Nathan lagi, butuh waktu lama bagi Vanessa menjawabnya. Karena ia sendiri merasa sudah bukan karyawan di kafe Mr. Clark, dan tidak mungkin ia menjawab bahwa dirinya adalah wanita simpanan sugar daddy.
Itu konyol!
"K-kopi..."
"Apa?!"
"Ah... aku membuat ulasan tentang kopi." Jawab Vanessa sekenanya, meski wajahnya cukup gugup setelah menjawab pertanyaan yang pada dasarnya adalah kebohongan.
"Hmm, itu bagus. Kau sepertiku, bekerja lepas tanpa terikat pada apapun. Tidak seperti Ayahku yang setiap hari harus bangun pagi dan pulang larut malam hanya, terlalu monoton, aku tidak menyukainya..."
"...maksudku, kita bisa memperoleh penghasilan dari sesuatu yang membuat kita bahagia, bukan membuat kita terpaksa melakukannya." Tukas Nathan. Ya, Nathan benar menurut Vanessa. Bekerja seharian penuh terasa melelahkan, seperti bekerja di kafe. Tidak seperti dirinya yang sekarang, bekerja di rumah hanya mengandalkan Sugar Daddy yang kaya raya. Setidaknya itu yang dikatakan Audrey dulu.
.
.
.
.
.Beberapa hari terasa berat, langkah Leonard terus diikuti oleh Clark yang merasa tidak rela jika Vanessa bersama dengannya. Leonard tidak dapat menemui atau sekedar melihat rumah Vanessa dari kejauhan, pria gendut itu terus mengawasi dirinya kemanapun ia pergi.
Pulang bekerja Leonard langsung menuju rumahnya, meski ia rindu ingin menemui gadis polos yang pastinya merasa kesepian di rumah besar itu.
Seperti biasa, Leonard tidak dapat mengontrol amarahnya. Ia lalu membuang kopernya ke sembarang arah dan melonggarkan dasi yang seperti akan mencekik lehernya, menghusap kasar wajahnya Leonard berbalik menatap dinding yang dihiasi foto-foto keluarga, saat ia masih memiliki keluarga yang utuh.
Namun kedua matanya menyipit ketika melihat sesuatu yang mengganggu pandangannya, Leonard melangkah pelan. Melihat seksama dan memastikan bahwa matanya belum rabun untuk pria dewasa di umurnya yang tidak muda lagi, ia hampir mengumpat namun jemarinya malah mengambil sebuah bingkai yang mengelilingi sebuah kanvas lukisan gadis berambut pirang di dalamnya.
Vanessa...?"
Panggilnya dalam hati, berusaha menjernihkan pikirannya. Leonard pikir, ini hanya halusinasinya saja yang terlalu candu pada gadis itu. Tapi kenyataannya, itu benar-benar Vanessa. Berdiri di samping pohon besar dan di belakangnya terdapat rerumputan hijau persis seperti rumah yang gadis itu tempati saat ini.
Leonard bukan pria yang memiliki kesabaran tingkat tinggi, ia segera membanting bingkai kaca tersebut ke atas lantai. Ada sesuatu hal yang membuat perasaannya kalut dan diselimuti awan panas, ia tidak bisa bertemu dengan Vanessa dan sekarang ia melihat nama anak lelakinya terukir indah bersama nama Vanessa di pohon tersebut.
Ya, ukiran nama di pohon itu tak luput dari lukisan Nathan. Dan membuatnya murka...
Nathan yang mendengar pecahan kaca sontak keluar dari kamarnya, sempat berpikir jika Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan meleparkan botol bir seperti yang biasa pria itu lakukan.
Tapi saat Nathan menuruni tangga, ia melihat karya seni yang ia buat kini telah hancur oleh Ayahnya sendiri. Leonard memang tidak pernah menyetujui jika Nathan menjadi seorang pelukis, menurutnya Nathan harus melanjutkan usaha keluarga.
"Dad, apa yang kau lakukan?!" Cecar Nathan ketika mendekati Ayahnya, dahi pria muda itu berkerut sedih melihat pekerjaannya hancur begitu saja.
Leonard melirik ke arah anak laki-lakinya itu, bertanya-tanya apakah Nathan mengetahui tentang Vanessa atau hanya kebetulan saja. Kedua pria itu masih diam, Leonard yang masih dengan emosinya dan Nathan yang juga hampir dibuat emosi oleh Ayahnya sendiri.
"Dad tidak ingin melihat lukisan apapun di rumah ini!" Tukas Leonard.
Nathan hampir tak bergeming, cukup dengan segala peraturan yang dibuat tanpa tujuan tersebut. Nathan bermimpi menjadi seorang pelukis, sama seperti mendiang Ibunya.
Apakah itu salah?
"Aku hanya ingin menjadi seperti Ibu.." balas Nathan, meski emosinya hampir meluap, Nathan masih berusaha menghormati Ayahnya itu.
"Ibumu pasti akan bahagia jika kau meneruskan usaha keluarga."
"Oh ya? Lalu bagaimana dengan rumah Ibu yang Daddy jual pada orang lain?!"
***
To be continue
21 Agustus 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Dating His Father
RomantikTersedia juga di platform Dreame (lengkap) Bertemu dengan seorang Sugar Daddy yang mengikat kehidupan Vanessa dengan sebuah kontrak bukanlah hal yang mudah, awal dari keinginan untuk dapat hidup terjamin dengan cara yang cepat karena tekanan kehidu...