12. The Prom

10.3K 546 28
                                    

"Maafkan aku, permisi..."

Vanessa segera menghentikan dansanya dengan Leonard, ketika bibir mereka hampir bertemu. Dan hal itu membuat Leonard lesu dan sedikit kecewa, kenapa gadis itu selalu berusaha menghindarinya, dia bahkan tidak membalas kontrak yang ditawarkan, pikir Leonard seperti itu.

Vanessa berlari ke arah toilet, tak habis pikir apa yang baru saja ia lakukan.

Pertama, pria itu menawarinya sebuah kontrak. Dan ketika Vanessa telah menyetujuinya, pria itu menghilang dan tak menanggapinya lagi. Lalu, sekarang, pria itu berusaha menggoda Vanessa. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi, seperti tarik ulur dan dirinya pun maju-mundur akan hubungan ini.

Hubungan macam apa?

Vanessa membenarkan gaunnya saat tiba di toilet wanita, tidak ada orang disini. Tapi tiba-tiba, dia mendengar suara langkah berat. Bukan suara ketukan heels, namun seperti, langkah pria. Saat Vanessa berbalik, ia baru menyadari bahwa Mr. Watson membuntutinya kemari. Belum sempat Vanessa berkata, Mr. Watson menarik pinggulnya ke dalam toilet dan menutup pintunya.

Gerakan itu tiba-tiba, hingga Vanessa merasakan kecupan di bibirnya dengan rakus. Bahkan kedua tangan pria itu bergrilya di seluruh tubuh dan lehernya, Vanessa hampir tidak dapat bernafas dengan baik. Ciumannya, begitu memabukkan. Dan digerayangi di dalam toilet sama sekali tidak pernah terpikir oleh Vanessa, perasaannya was-was jika ada orang yang menangkap kegiatannya dengan Leonard, tapi sensasi ini, begitu memabukan untuknya, seperti Vanessa tak ingin menyudahi ciuman ini.

"Shh... diam!" Leonard menutup bibir Vanessa dengan jarinya, saat terdengar beberapa wanita memasuki toliet. Mereka berdua terdiam tak bersuara agar tidak ketahuan, tapi tetap saja, nafas Vanessa masih memburu karena ciuman brutal tadi.

Vanessa berusaha mati-matian mengatur nafasnya, tapi tiba-tiba, Leonard menyentuh tubuhnya dengan perlahan. Seakan menggoda desahan yang Vanessa tahan mati-matian. Jemari itu, bermain di perut dan menarik dress Vanessa. Menyusup ke dalam milik Vanessa dan berhasil meloloskan desahan nikmat dari bibir seksi itu, dan Leonard menyeringai melihat kepala gadis itu mendongak nikmat.

Vanessa berharap, tidak ada yang menyadari desahannya itu. Jari Leonard sangat lihai di bawah sana, Vanessa bahkan merasakan sesuatu yang basah mulai membasahi celana dalamnya, membuat jemari itu dengan mudah melakukan tugasnya.

"Aku suka melihatmu tersiksa seperti itu, menahan desahan ketika milikmu sangat basah. Itu tidak mudah..." bisik Leonard di telinga Vanessa.

Gelenyar aneh saat nafas panas pria itu menggelitik sekitar leher dan telinganya.

"Shh... kumohon Mr. Watson..." bisik Vanessa, wajahnya berusaha menahan sesuatu dan rasa nikmat yang luar biasa.

"Kau mohon apa?" Namun Leonard selalu bisa menggoda dengan suara seraknya.

Vanessa tidak dapat menjawab karena jari Leonard terus menggodanya, seperti dia sedang menahan pipis namun ini lebih sulit. Entahlah, Vanessa tidak mengerti.

"Aku tahu kau menginginkannya juga..." Mr. Watson menaikan nada suaranya, masih tetap berbisik hanya saja, penuh penekanan.

Tubuh Vanessa kian melemah, namun Leonard menahan pinggul gadis itu agar tidak ambruk.

"Aku tahu kau menginginkannya, tapi kau malah mengabaikannya..." desis Leonard.

"Oh please Mr. Watson...." kepala Vanessa menoleh ke kanan dan kiri menahan sesuatu dari dalam dirinya yang ingin meledak.

"Kau mengabaikannya, kau mengabaikan kontrak yang aku buat!" Cecar Leonard.

Seketika Vanessa terdiam, berusaha mencerna kalimat terakhir Leonard barusan. Mengabaikan rasa nikmat yang diberikan pria itu dan mencoba menjernihkan pikirannya, bahwa yang barusan ia dengar itu adalah benar.

"Aku tidak mengabaikan kontrakmu Mr. Watson..." ujar Vanessa, melihat wajah kebingungan gadis itu, Leonard menghentikan aksinya.

"Apa?"

"Maksudku, aku telah memberikan kontrak itu dan kau yang tidak menanggapinya bukan?" Tanya Vanessa heran.

"Aku tidak menerima apapun..." balas Leonard lagi.

Mereka terdiam,

Berpikir satu sama lain.

"Ahh, harusnya aku tidak menitipkannya waktu itu." kata Vanessa baru menyadari sesuatu.

"Memangnya kau titipkan dimana?" Selidik Leonard, Vanessa tidak ingin membuat pria itu murka. Jadi dia memilih untuk tidak bilang.

"Sudahlah, ini semua hanya salah paham. Dan ini salahku..." kata Vanessa, Leonard memperhatikan wajah gadis itu.

Kenapa dia bisa sangat sebaik itu?

"Jadi... kau menerimanya?" Tanya Leonard, Vanessa lalu mengangguk malu. Sambil membenarkan gaunnnya dan riasannya yang sudah tidak karuan.

Leonard menatap Vanessa dari ujung kepala hingga kaki, gadis ini terlalu membuatnya candu. Leonard bahkan tidak tahu harus memulai dari mana terlebih dahulu dengan Vanessa.

Dia begitu indah.

"Datanglah besok ke apartemen pribadiku, aku akan menyuruh sopir untuk menjemputmu malam hari. Kita akan bicarakan disana..." kata Leonard, Vanessa hanya mengangguk mengerti. Sebelum akhirnya pria itu pergi dari dalam toilet ketika keadaan sudah aman.

Vanessa menghembuskan nafas kasar, duduk di atas toilet dengan kedua kaki masih bergetar.

Itu baru permulaan, dan itu berhasil membuat tampilannya kacau dan nafasnya terengah.

Vanessa tidak dapat membayangkan apa yang terjadi besok. Fantasinya terlalu tertuju pada pria itu, dan dirinya terlalu khawatir akan hari esok dan kegitaan apa saja yang akan terjadi. Tapi Vanessa akui, yang baru saja terjadi itu, membuatnya hampir kehilangan kendali.

Kenikmatan yang diberikan pria itu, elusan jemarinya, dan ciuman hangat dari bibir pria itu. Masih dapat Vanessa rasakan hingga saat ini, miliknya masih berdenyut, meski ia sempat menghentikan sesuatu yang hampir meledak karena sesuatu tadi. Baru Vanessa akui, ia menginginkannya juga, bukan hanya karena uang, tapi juga, karena dia menginginkan sentuhan pria itu.

Vanessa berusaha berdiri, memperbaki tampilannya yang tak karuan di depan cermin. Meski kedua kakinya sedikit bergetar, ia tetap berusaha berjalan keluar guna melanjutkan pekerjaannya. Saat kembali, teman baristanya itu hanya tersenyum melihatnya. Vanessa tertunduk sedikit malu. Ia mencari Audrey, ingin bercerita kepada gadis itu, tapi tak kunjung Vanessa temukan.

Kedua matanya, malah tertuju kepada seseorang yang berdiri dengan gagahnya di ujung sana. Bersandar di balik pilar dengan segala pesonanya yang dapat meluluhkan setiap wanita yang ada di gedung ini. Mr. Watson berdiri tak jauh dari Vanessa. Menatap intens gadis itu, terus mengawasi gerak-gerik Vanessa yang terlihat gesit dengan pekerjannya.

Vanessa sampai tidak bisa menahan kegugupannya terus ditatap seperti itu, banyak wanita cantik dengan gaun dan aksesoris mahal serta riasan mereka yang sempurna. Tapi mengapa hanya dirinya yang terus diawasi oleh Leonard, apa dia kurang menarik hingga begitu aneh di mata Leonard, atau memang dia terlalu gemas pada Vanessa dan sudah tidak sabar menunggu gadis itu.

Vanessa memperhatikan jemari berurat yang menenteng gelas itu, jari yang baru saja memainkan miliknya dan sialnya itu sangat nikmat. Vanessa menegak salivanya sendiri, tangan besar dan kokoh dengan jari yang besar dan berurat. Oh, Vanessa tidak dapat lagi membendung segala fantasinya dengan pria itu.





***

To be continue

16 November 2019

Dating His FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang