Tok... tok... tok...
Cekle...
"Nathan, apa yang kau lakukan di sini?" Vanessa yang masih dalam keadaan mengantuk berusaha menutupi mulutnya ketika menguap, pukul dua dini hari seseorang mengetuk pintu rumah dan berhasil membangunkan gadis cantik itu dari tidurnya. Entah mengapa melihat Vanessa mengenakan baju tidur dengan rambut acak-acakan membuat Nathan gemas.
Padahal ia kemari dengan perasaan marah dan kesal setelah perdebatan dengan Leonard.
"Boleh aku minta kopi?" Pinta Nathan, meskipun sedikit terkejut Vanessa lalu hanya tersenyum dan membiarkan pria itu masuk. Menyalakan lampu dapur dan menghidangkan kopi, dari raut wajah Nathan dapat Vanessa simpulkan bahwa Nathan sedang dalam keadaan tidak baik.
Well, ini mungkin terlalu larut dan mengganggu tidur Vanessa. Tapi ia sendiri dan tidak ada kegiatan selain membersihkan rumah dan membaca buku, jadi Vanessa tidak merasa terganggu sedikitpun dengan kedatangan Nathan di pagi-pagi buta seperti ini. Mungkin pria itu hanya butuh teman berbincang atau sekedar mendengar uneg-uneg yang ada di dalam hatinya.
Vanessa menghidangkan secangkir kopi dengan asap masih menggumpal, seperti biasa aroma kopi buatan Vanessa selalu berhasil menenangkan pikiran Nathan. Gadis itu ternyata memiliki sisi yang lembut yang dapat menenangkan hatinya yang sedang kalut.
"Terimakasih..." ujar Nathan lalu menyeruput kopi tersebut, pria itu hanya mengenakan sweater dan celana jeans. Rambut dan wajahnya pun nampak tak beraturan, jelas sekali bahwa Nathan sedang dalam masalah. Walaupun begitu, Vanessa tidak ingin mencampuri urusan pribadi Nathan. Walaupun Vanessa tidak mengerti caranya berbasa-basi guna mengalihkan pikiran pria itu, mereka hanya diam...
Satu hembusan nafas dari Nathan berhasil membuat asap kopi tersebut menghilang dalam sekejap, ia masih bingung kenapa ia harus lari ke rumah ini dan mendatangi Vanessa. Rindukah ia pada Ibunya atau memang ada sesuatu yang menarik Nathan untuk terus mendatangi rumah ini?
"Hah... maafkan aku, seharusnya aku tidak kemari..." tiba-tiba Nathan beranjak dari duduknya, Vanessa yang terkejut lalu mengikuti Nathan dan berusaha mencegah pria itu pergi.
Vanessa tidak ingin sesuatu terjadi pada Nathan, pria itu sedang gundah. Dan menyetir dengan suasana hati yang tidak baik serta jalanan yang sepi bukanlah ide yang bagus.
"Nate, dengarkan aku!" Vanessa berdiri tepat di hadapan Nathan yang hampir menuju pintu keluar.
"Aku memang tidak tahu masalahmu. Tapi, setidaknya kau mau menemaniku malam ini..." ucap Vanessa, gadis itu sama sekali tidak tahu apa yang ia ucapkan dan berarti apa bagi Nathan. Ia hanya ingin Nathan tidak terbawa suasana hati dan menyebabkan sesuatu hal yang buruk menimpa pria itu.
Sedikit menunduk, Nathan dapat melihat jelas wajah Vanessa yang mendongak menatap ke arahnya.
Entah karena keberanian atau rasa putus asa, jemari Nathan terulur menyentuh pipi semulus dan selembut sutra tersebut. Mengelusnya secara perlahan dengan satu jemari membuat Vanessa hampir terbuai dan menutup matanya sejenak, Nathan kian membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke arah Vanessa.
Dan akhirnya bibir lembut Vanessa bertemu dengan bibirnya.
Cup...
Sontak Vanessa membuka kedua matanya, sebagian dari dirinya ia menyukai Nathan. Tapi bukan untuk hal ini, karena Vanessa masih tahu diri dan menyadari bahwa tubuh dan dirinya kini hanya milik Mr. Watson. Setidaknya ia tidak ingin bertindak kurang ajar dan menghianati Mr. Watson yang memberinya kehidupan layak.
Perlahan, jemari Vanessa menekan dada Nathan dan mendorongnya secara perlahan.
Nathan menyadari hal itu dan menarik bibirnya dari sana, wajah mereka masih sangat dekat. Vanessa dapat merasakan deru nafas Nathan di wajahnya, ketika kedua mata mereka beradu pandang. Dalam keadaan sedih atau marah, seseorang hanya membutuhkan kelembutan dari orang lain untuk menenangkan hatinya.
"Nathan, kurasa ini terlalu cepat." Bisik Vanessa, hening yang cukup lama. Nathan masih bisa merasakan bibir lembut milik Vanessa bersentuhan dengan bibirnya, rasanya sangat manis dan menenangkan.
"Kau ingin aku menjadi apa?" Tanya Nathan.
"Bagaimana kalau teman?" Jawab Vanessa, Nathan lagi-lagi menghembuskan nafasnya. Seharusnya ia tak melakukan hal ini terhadap Vanessa.
"Maafkan aku menakutimu, Ness..." ujar Nathan, menarik diri dan sedikit menjauh dari Vanessa. Lalu menceritakan semua hal yang ia lalui mulai dari lukisan yang dihancurkan oleh Ayahnya, dan berakhir perdebatan yang sering terjadi. Bahwa Ayahnya ingin Nathan berhenti bermain-main dengan lukisan dan mulai belajar melanjutkan usaha keluarga.
"Well, kurasa Ayahmu ada benarnya Nate. Ia ingin melanjutkan usaha keluarga, itu artinya kau adalah bagian dari keluarga..."
"...aku tidak bermaksud untuk menggurui atau membela siapapun, tapi kau sendiri. Siapa lagi yang akan melanjutkan usaha keluargamu, aku yakin itu sangat berharga bagi keluarga kalian." Tukas Vanessa, kini mereka berdua berada di dalam kamar Vanessa. Bercengkrama, meskipun Vanessa lebih banyak menasihati pria itu dari pada melakukan obrolan ringan. Vanessa berpikir, itu semua demi kebaikan Nate. Meskipun dalam hati Vanessa merasa lucu, ia pandai menasihati orang lain tanpa dapat menasihati hidupnya sendiri.
Nathan terlihat mengangguk, mungkin menyetujui saran Vanessa. Gadis itu lalu beralih ke samping Nathan yang duduk di atas ranjang Vanessa dengan wajah lesu.
"Kau bisa tetap menyalurkan hobi melukismu itu kapanpun, Nate. Aku siap menunggumu kapanpun di sini, untuk menjadi modelmu." Vanessa mengalungkan kedua lengannya di sekitar tengkuk dan leher Nathan, dan dibalas oleh genggaman jemari Nathan di lengan gadis itu, ia terkekeh.
"Baiklah, berjanjilah kau tak akan lari jika yang kau temui kelak adalah pria berdasi, bukan pria dengan canvas serta cat lagi." Guyon Nathan, mereka berdua hanya tertawa.
Bercerita dan tertawa bersama sampai tertidur di atas ranjang yang sama, hingga pagi nenyinari wajah cantik Vanessa dan ia terbangun mendengar sebuah klakson mobil yang terasa tak asing baginya.
Ketika Vanessa terbangun, ia tak mendapati Nate di sampingnya. Vanessa lalu beranjak dari peraduan dan beralih ke jendela, jantungnya terasa berdegub kencang. Kendaraan Mr. Watson baru saja berhenti di halaman rumah, dan bukan hal itu saja yang membuat wajah Vanessa menjadi pucat.
Tapi pria tinggi yang berjalan ke arah Mr. Watson yang baru saja turun dari mobilnya.
"Dad, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Nathan, perasaannya sedikit membaik semenjak Vanessa memberinya saran semalam. Namun ia cukup bingung dengan kehadiran Leonard ketika pria itu telah menjual rumah mendiang Ibunya.
Dan dari wajah Leonard, dapat dipastikan bahwa pria itu tengah menahan amarahnya. Bukan pada Nathan, tapi pada Vanessa. Gadis itu telah melangkahi kontrak yang telah mereka sepakati, dan sialnya mengapa Putra satu-satunya yang ia miliki terjebak dalam sebuah pusaran yang Leonard ciptakan. Berharap Nathan tidak membencinya...
***
To be continue
26 Agustus 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Dating His Father
RomantikTersedia juga di platform Dreame (lengkap) Bertemu dengan seorang Sugar Daddy yang mengikat kehidupan Vanessa dengan sebuah kontrak bukanlah hal yang mudah, awal dari keinginan untuk dapat hidup terjamin dengan cara yang cepat karena tekanan kehidu...