The Maze

7 3 0
                                    

"Mungkinkah ...?" Alexander meliriknya patung banteng dan dinding lubang di dinding yang terlihat seperti cetakan patung banteng.

Alexander mendorong patung banteng itu menuju ke lubang di dinding, karena berat dari patung banteng, ia butuh usaha dan waktu yang lebih. Alexander menghabiskan waktu 8 menit untuk mendorong patung besi itu ke lubang di dinding. Begitu patung banteng memasuki lubang di dinding, api panas menyembur dari bawah lubang dan membakar perut patung banteng.

Sebuah pintu kemudian terbuka di samping patung banteng yang terbakar. Jalan di balik pintu itu terlihat seperti jalan menuju fasilitas rahasia. Melihat jalan itu membuat Alexander teringat dengan salah satu misi tersulit yang ia terima. Dalam misi itu juga Alexander hampir kehilangan nyawanya karena gagal mematikan sistem anti penyusup.

"Tidak, aku tidak akan memasuki tempat itu!" Alexander mengacungkan jari tengahnya.

"Kau yakin tidak ingin masuk ke sana?" Sebuah suara terdengar di kepala Alexander.

Alexander terkejut dan melihat sekelilingnya, ia tidak menemukan apapun.

"Tidak perlu mencari kau tidak akan menemukanku." Suara itu tertawa pelan.

"Siapa kau?" tanya Alexander.

"Tidak penting siapa aku, keberadaanku hanyalah sebagai pemberi peringatan."

Alexander tidak mengerti apa yang dimaksud suara itu, ia mulai mengira jika dirinya sedang berhalusinasi.

"Kau tidak memiliki banyak waktu, 30 detik dan putuskan apa yang akan kau lakukan." Suara itu perlahan memudar dari kepala Alexander.

"Hei! Apa maksudmu?!" Seru Alexander.

Karena suara itu, Alexander mulai bimbang, apakah ia harus tetap di ruangan itu atau masuk ke dalam jalan yang ia buka. Detik demi detik berlalu, Alexander mulai berkeringat, ia kemudian memutuskan untuk masuk ke jalan di samping patung banteng.

Begitu Alexander menginjakkan kakinya di jalan itu, pintu di belakangnya langsung tertutup. Alexander berjalan semakin dalam melewati jalan yang sepenuhnya terlihat mengkilap itu. Semakin dalan Alexander berjalan, semakin aneh juga bentuk jalan yang ia lalui.

Perlahan lantai yang Alexander injak mulai bergelombang dan melemparnya naik turun.

"Apalagi ini?!"

Gelombang lantai semakin menjadi-jadi dan melempar Alexander ke segala arah, ia menabrak dinding dengan sangat keras. Dalam waktu singkat Alexander dibuat babak belur karena menabrak dinding dengan kuat.

"Aaaaaaaaah! Brengs*k!" Kepala Alexander membentur dinding dengan sangat keras.

•••

[Stress Level : 80%]

"Ugh ...."

Alexander terbangun dengan rasa nyeri di kepalanya, ia meletakkan tangannya di dahi dan merasakan darahnya yang mengering. Begitu mata Alexander kembali fokus, ia melihat sekelilingnya telah berubah.

Alexander memang masih berada di tempat yang sama, hanya saja tampilan dinding dan lantai berubah drastis. Kini Alexander merasa seperti tengah berada di lorong bawah tanah.

Alexander tidak memiliki pilihan selain menyusuri lorong karena tidak ada jalan untuk mundur. Dengan kepalanya yang masih terasa nyeri, Alexander berjalan semakin dalam.

Beruntung lorong itu tidak gelap karena terdapat banyak lilin yang digantung di sepanjang lorong.

"Aku seharusnya tidak mendengarkan suara halusinasi itu," ucap Alexander, ia menyesali keputusannya.

Alexander sampai di akhir lorong dan kini ia dihadapkan dengan dua lorong yang tidak diketahui kemana lorong itu akan membawanya. Hal pertama yang Alexander lakukan sebelumnya memilih lorong berikutnya menepuk tangannya di kedua lorong. Tepukan tangan Alexander bergema agak lama pada lorong pertama, maka dari itu ia memilih lorong kedua.

Kini Alexander sampai di akhir lorong dan di depannya terdapat tiga lorong lain yang harus ia pilih. Alexander kembali menggunakan tepukan tangannya dan memiliki lorong ketiga karena gema tepukannya lebih cepat berakhir.

Hal yang sama terjadi berulang-ulang dan jumlah lorong yang muncul semakin banyak. Selain itu, Alexander mulai kesulitan memanfaatkan gema tepukannya karena jalan di dalam lorong memiliki belokan.

"Kyaaaaaaaaah!"

Jeritan perempuan terdengar dari belakang Alexander, jeritan itu mirip dengan jeritan makhluk di bawah ranjang yang ia lihat sebelumnya. Mendadak jantung Alexander terasa sangat sakit dan sangat dingin, butir-butir keringat mengalir deras dari dahi Alexander.

"Sial! Berapa banyak lorong yang harus aku pilih!" seru Alexander selagi terus berlari dan memilih lorong.

Rasa sakit dan dingin yang menyebar dari jantungnya membuat Alexander mulai kesulitan untuk berlari. Dengan adrenalin yang terpacu di tubuh, Alexander masih bisa menahan rasa sakitnya. Pelarian Alexander terhenti begitu melihat dinding menjulang yang menghalangi jalannya.

"Tidak! Kenapa harus seperti ini!"

Karena khawatir makhluk yang menjerit itu akan menyusulnya, Alexander jadi terburu-buru untuk memilih lorong. Alexander tidak menyangka ia akan memilih lorong yang salah dan membuatnya kembali dalam bahaya.

Karena tidak ada jalan untuk mundur, Alexander memasang kuda-kuda dan bersiap untuk menyerang apapun yang mendatanginya. Kepanikan semakin melanda Alexander, ditambah rasa sakit di tubuh, membuatnya kesulitan mempertahankan kuda-kudanya.

"Kyaaaaaaaaaaah!" Jeritan kembali terdengar, perlahan-lahan sosok dari sumber jeritan itu akhirnya menampakkan dirinya.

Mata merah darahnya menatap tajam ke arah Alexander, rambut yang beterbangan membuat perempuan itu semakin terlihat berbahaya. Perempuan itu menjerit sekali lagi dan menerjang ke arah Alexander dengan kuku-kuku tajam yang siap menusuk.

Jarak semakin menipis dan Alexander sudah bersiap untuk memukul perempuan itu. Ketika jaraknya sudah cukup, Alexander segera mengirimkan tinjunya. Namun, belum sempat tangan Alexander menyentuh perempuan itu, lehernya sudah tertusuk oleh kuku panjang yang tajam.

"Kyaaaaaahahahahaha!" Perempuan itu menjerit dan tertawa terbahak-bahak dengan tangan yang menembus leher Alexander.

Alexander terbangun di ruangan patung banteng berada, ia langsung meringkuk di antara lutut, ketakutannya belum mereda.

"Tidak kusangka kau akan gagal," ucap suara di dalam pikiran Alexander.

"Hahahahaha! Pecundang ini mudah sekali putus asa!" ejek suara itu.

Alexander terlalu lelah dan takut, ia mengabaikan suara di kepalanya yang terus-menerus mengejek dan menghinanya.

"Kau mungkin aku membuatmu memilih pilihan yang salah. Andai saja kau tahu jika aku memberimu petunjuk agar kau mendapatkan kematian yang mudah," kata suara itu.

"Dari sembilan orang selain dirimu, hanya empat dari mereka yang berhasil mendapatkan kematian yang mudah," ungkap suara itu.

Suara itu kemudian menghela nafas panjang, "Apakah kau mampu menjadi yang kelima dan membebaskan dirimu dari siksaan mereka?"

Dari apa yang dikatakan suara itu pada Alexander, ia mengambil kesimpulan jika kebebasan hanyalah mimpi indah di tempat itu. Alexander bahkan tidak mengerti bagaimana ia tidak benar-benar mati setelah mengalami berbagai siksaan. Fenomena aneh seperti perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya juga sangat tidak masuk akal bagi Alexander.

Alexander tidak mengerti bagaimana ia berakhir seperti ini. Jika Alexander bisa memilih siksaan seperti ini atau hukuman mati. Maka Alexander pasti akan memilih hukuman mati.

"F*ck this place!" Alexander memutar kepalanya dan membuatnya mengalami kematian seketika.

Alcatraz [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang