Alexander menemukan secarik kertas di bawah mic yang ada di depannya, ia mengambil kertas itu dan melihat isinya. Kertas itu berisi pesan mengenai apa yang Alexander tengah lihat dan apa yang harus ia lakukan.
Ada salah satu monitor yang menunjukkan empat orang yang tidak asing bagi Alexander. Orang itu adalah Hana, Russel, Hibiki, dan Luna, keempatnya tengah menelusuri setiap kamar dan mencari sesuatu yang bisa digunakan.
Di sudut kiri bawah monitor itu ada tulisan yang menunjukkan 135 Days. Alexander kembali melihat secarik kertas di tangannya dan mengucapkan kalimat yang diperintahkan.
"Pergilah ke Coldwind Farm yang ada di utara dari Crotus Prenn Asylum. Jika kalian melihat sebuah pintu di tanah, masuk ke dalamnya dan jangan ragu. Perlu kalian ingat, kalian butuh lima orang untuk pergi ke tempat itu," ucap Alexander sesuai dengan perintah kertas.
Alexander tiba-tiba menyadari sesuatu, "Tunggu dulu! Bukankah ini pesan radio yang dimaksud oleh Hana?!"
Saat Alexander akan mengirimkan pesan lain, tiba-tiba saja layar monitor itu menghitam. Alexander tidak bisa melakukan apapun dengan matinya monitor itu dan kembali mengikuti perintah Berikutnya dari kertas.
"Bukankah ini Russel dan Hibiki?"
Salah satu monitor menunjukkan Russel dan Hibiki yang tengah duduk berhadapan di sebuah kursi dengan tubuh yang terikat. Gerakan mulut Russel dan Hibiki terlihat sedang mengucapkan kata-kata kutukan.
Berdasarkan perintah kertas, Alexander harus menekan tombol berwarna merah sebanyak enam kali. Alexander mengikuti perintah itu dan keanehan mulai terjadi. Russel dan Hibiki mendadak terlihat menjerit-jerit seolah menahan rasa sakit yang luar biasa. Akhirnya, Russel dan Hibiki diam tidak bergerak sedikitpun dari kursinya.
Bergerak ke perintah terakhir dari kertas di tangannya, Alexander menelan ludahnya saat melihat apa yang diperintahkan kertas. Alexander mengarahkan pandangannya ke salah satu monitor yang tengah memperlihatkan bagian belakangnya.
Wajah Alexander langsung kehilangan warnanya. "Tidak, jangan lagi!"
"Lima..."
Mulut Alexander bergerak dengan sendirinya, ia mencoba menghentikan hal itu tapi tidak berguna.
"Empat..."
Air mata mulai mengalir dari sudut mata Alexander, moncong pistol USP-S yang sering Alexander gunakan mulai terlihat di sudut monitor.
"Tiga..."
Alexander mencoba untuk bangkit dari kursinya tapi tubuhnya menolak bergerak tanpa sebab.
"Dua..."
Alexander menekan mic dan berteriak meminta pertolongan meskipun ia yakin tidak satupun yang akan menolongnya.
"Satu..."
Alexander menjerit meraung-raung di dalan pikirannya dan hal terakhir yang ia dengar adalah suara letusan senyap sebuah pistol USP-S.
•••
[Stress Level : 70%]
Sekali lagi Alexander terbangun di tempat yang sangat gelap, ia hanya bisa melihat tubuhnya sendiri dan tidak dengan hal lain. Anehnya, Alexander tidak bisa merasakan permukaan seolah ia tengah berada udara. Ditambah dengan terpaan angin kencang membuat Alexander semakin yakin jika ia tengah berada di udara.
Hal itu membuat Alexander sangat panik, ia merasakan jika ia terjatuh di kegelapan yang tidak ada ujungnya. Bayang-bayang kematian menghantui, seiring dengan jatuhnya Alexander.
Sudah 1 jam berlalu sejak Alexander merasakan sensasi jatuh dari ketinggian, tapi sampai saat ini ia belum juga mencapai dasarnya.
Diterpa angin kencang secara terus-menerus selama berjam-jam membuat tubuh Alexander kehilangan panasnya. Alexander berusaha untuk terus bergerak agar tubuhnya tetap terasa hangat.
Mendadak Alexander menghantam permukaan dengan keras dan membuat kesadarannya hilang dalam sekejap.
•••
[Stress Level : 90%]
"Prajurit! Kau siap?!" tanya seorang Instruktur.
Alexander tidak tahu apa yang terjadi sekarang, ia hanya mengangguk dengan kebingungan yang memenuhi pikirannya.
"Kerja bagus! Sekarang pergi!" Instruktur mendorong Alexander keluar.
"Tunggu! Tunggu! Aaaaaaaaaaaaah!" seru Alexander.
Alexander diterjunkan dari pesawat dengan parasut terpasang di punggungnya. Alexander tidak bisa melihat permukaan di mana ia harus mendarat karena pandangannya ditutupi oleh awan.
Butuh waktu sebelum akhirnya Alexander bisa melihat padang rumput yang menjadi tempat pendaratannya. Alexander berusaha memperkirakan ketinggiannya dan melepaskan parasut begitu ketinggian tersisa 8 ribu meter dari permukaan.
Sial bagi Alexander, parasutnya gagal terbuka sempurna, hal yang juga terjadi pada parasut cadangannya. Kedua parasutnya terlilit dan membuat Alexander berputar dengan cepat di udara.
Dunia terlihat buram di mata Alexander, kepalanya pusing, tubuhnya melemas, dan isi perutnya keluar. Alexander tidak sanggup mempertahankan kesadarannya, ia berputar terlalu cepat di udara.
Alexander menghantam permukaan dengan keras, ia tidak langsung kehilangan kesadarannya dan harus menghadapi rasa sakit luar biasa.
"Aaaaaaaaah!" jerit Alexander.
Adrenalin di tubuhnya terpacu dan memaksanya untuk terus sadar. Tentu bukan hal baik untuk Alexander, karena ia harus menghadapi rasa sakit di tubuhnya. Kakinya hancur, lengannya patah, dan tulang belakangnya juga sudah tidak berada dalam posisi yang benar.
Yang Alexander rasakan jauh lebih buruk dari kematian, robekan lebar di kulitnya juga membuatnya harus kehilangan banyak darah.
Perlahan tapi pasti kesadaran Alexander memudar diiringi oleh siksaan rasa sakit di tubuhnya. Tidak berhenti di situ, sebuah batang besi jatuh dari langit dan menghantam kepala Alexander.
•••
[Stress Level : 30 - 80%]
"Haaaaaah! Haaaah! Haaaah!" Alexander menarik udara ke dalam paru-parunya dengan rakus.
Kini Alexander berada di tempat yang sangat amat normal jika dibandingkan dengan tempat sebelumnya. Alexander tengah berada di atas ranjang di sebuah kamar yang hanya diterangi oleh lampu tidur.
Suara ketukan aneh terdengar di bawah ranjang yang Alexander tempati saat ini. Kilas balik terputar di pikiran Alexander, ia melihat sesosok perempuan berambut panjang yang tengah menunggunya turun dari atas ranjangnya. Alexander cukup yakin jika ia tidak pernah mengalami hal yang ada di pikirannya itu sebelumnya.
Selain itu ada perasaan aneh yang mengganjal di hati Alexander, ia sangat takut untuk turun dari ranjangnya. Hanya saja rasa takut itu dikalahkan oleh rasa penasaran Alexander.
Alexander mencoba memberanikan dirinya untuk mengintip bagian bawah ranjangnya. Detak jantung Alexander berdetak semakin cepat, keringat juga mulai mengalir dari dahinya.
Tubuhnya kaku dan matanya termenung, hal itu terjadi begitu Alexander melihat sosok yang menghuni bagian bawah ranjangnya. Mata merah darah yang menyala dalam gelap, kulit putih pucat, dan kuku panjang yang siap mencengkram.
Alexander segera menarik dirinya kembali ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimutnya.
Perempuan di bawah ranjang Alexander mulai menangis, tangisannya terdengar sangat pilu. Namun bagi Alexander, tangisan itu terdengar seperti alunan musik yang akan membawanya ke mimpi buruk. Tangisan itu berhenti setelah 5 menit, Alexander perlahan menyingkirkan selimutnya.
"Kyaaaaaaaaaaah!" Perempuan itu menjerit tepat di depan wajah Alexander.
Sesaat kemudian Alexander merasakan sesuatu yang dingin menembus dadanya dan perempuan itu menghilang tanpa jejak.
"Aaaaaaah!"
Alexander menjerit dan melompat dari ranjangnya, ia mendobrak pintu kamar dan keluar dari kamar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alcatraz [END]
غموض / إثارة"Mungkin masih banyak penjara yang membiarkan tahanannya hidup dengan tenang, tapi tidak dengan tempat ini." "Selamat! Kau tahanan ke 10!" "Let's play some games, if you can win this game, you're free!" Itu adalah hal terakhir yang diingat oleh Alex...