The Loop

28 3 0
                                    

Alexander terus berlari dan tidak menghiraukan sekitarnya, sudah sekitar 10 menit ia berlari dan belum menemukan kemana lorong itu akan membawanya.

"Dimana? Dimana pintu keluarnya?!" teriak Alexander.

Pada saat ini Alexander merasa jika ia terus berlari di tempatnya karena apa yang ia lihat selama 10 menit tidaklah berubah. Alexander sudah sangat kelelahan, pikirannya juga tidak kuasa menahan keanehan tempat itu.

Alexander berhenti berlari untuk sesaat dan menarik nafas, tapi sesuatu yang tidak ia harapkan tiba-tiba terjadi. Alexander melihat ke belakangnya dan menemukan jika lampu yang menerangi lorong berhenti berfungsi satu demi satu. Rambut-rambut di tubuh Alexander berdiri, ia merasakan jika ada sesuatu yang sedang menunggunya di dalam kegelapan itu.

"Sial! Hentikan! Hentikan ini!" Alexander menjerit, ia kembali berlari dengan sekuat tenaga.

Kegelapan di belakang Alexander juga mengejarnya dan tidak ingin membiarkan ia lari. Semakin cepat Alexander berlari, semakin cepat juga kegelapan itu mengejarnya.

"Kakak Alexander." Suara perempuan muda terdengar memanggil Alexander tepat di belakangnya.

Itu adalah suara yang tidak asing baginya, itu adalah suara dari salah satu korbannya yaitu Elizabeth Scarf. Seorang perempuan yang merupakan anak dari pimpinan perusahaan Scarf Company.

"Kakak Alexander, bukankah kau berjanji untuk bermain denganku?" tanya suara itu.

"Tidak, kau sudah mati! Kau sudah mati!" seru Alexander.

"Aku belum mati Kakak Alexander, lihatlah aku," ucap suara itu, nadanya dipenuhi oleh kesedihan dan penyesalan.

Suara itu berhasil mempengaruhi Alexander, ia melihat ke belakang dan melihat sesosok perempuan muda dengan wujud mengerikan sedang berusaha keluar dari kegelapan.

"Tidak! Tidak! Kau sudah mati! Tinggalkan aku!" Alexander kembali menjerit dengan kuat dan menambah kecepatannya.

"Kakak Alexander aku belum mati! Aku belum mati! Aku be-!"

Suara itu berhenti tapi bersamaan dengan berhentinya suara itu, Alexander mendengar suara tembakan pistol.

"Dimana? Dimana pintu keluarnya?!" teriak Alexander.

Pada saat ini Alexander merasa jika ia terus berlari di tempatnya karena apa yang ia lihat selama 10 menit tidaklah berubah. Alexander sudah sangat kelelahan, pikirannya juga tidak kuasa menahan keanehan tempat itu.

Alexander berhenti berlari untuk sesaat dan menarik nafas, tapi sesuatu yang tidak ia harapkan tiba-tiba terjadi. Alexander melihat ke belakangnya dan menemukan jika lampu yang menerangi lorong berhenti berfungsi satu demi satu. Rambut-rambut di tubuh Alexander berdiri, ia merasakan jika ada sesuatu yang sedang menunggunya di dalam kegelapan itu.

"Sial! Hentikan! Hentikan ini!" Alexander menjerit, ia kembali berlari dengan sekuat tenaga.

Kegelapan di belakang Alexander juga mengejarnya dan tidak ingin membiarkan ia lari. Semakin cepat Alexander berlari, semakin cepat juga kegelapan itu mengejarnya.

"Kakak Alexander." Suara perempuan muda terdengar memanggil Alexander tepat di belakangnya.

Itu adalah suara yang tidak asing baginya, itu adalah suara dari salah satu korbannya yaitu Elizabeth Scarf. Seorang perempuan yang merupakan anak dari pimpinan perusahaan Scarf Company.

"Kakak Alexander, bukankah kau berjanji untuk bermain denganku?" tanya suara itu.

"Tidak, kau sudah mati! Kau sudah mati!" seru Alexander.

"Aku belum mati Kakak Alexander, lihatlah aku," ucap suara itu, nadanya dipenuhi oleh kesedihan dan penyesalan.

Suara itu berhasil mempengaruhi Alexander, ia melihat ke belakang dan melihat sesosok perempuan muda dengan wujud mengerikan sedang berusaha keluar dari kegelapan.

"Tidak! Tidak! Kau sudah mati! Tinggalkan aku!" Alexander kembali menjerit dengan kuat dan menambah kecepatannya.

"Kakak Alexander aku belum mati! Aku belum mati! Aku be-!"

Suara itu berhenti tapi bersamaan dengan berhentinya suara itu, Alexander mendengar suara tembakan pistol.

Pengelihatan Alexander menghitam dalam sesaat dan saat ia kembali mendapatkan pengelihatannya, ia tengah duduk terikat erat di sebuah kursi besi di dalam ruangan serba putih tanpa pintu.

"Dimana ini?! Keluarkan aku!" teriak Alexander.

Alexander sudah lelah, ia tidak ingin lagi berlari dan berteriak meminta pertolongan karena usahanya sia-sia. Alexander tidak tahu apa yang sedang terjadi dengannya atau dengan tempat ia berada.

Sebuah lagu tiba-tiba saja terdengar di ruangan kosong yang ditempati Alexander.

Dearest, the shadows I live with are numberless.

Little white flowers will never awaken you,

Not where the black coach of sorrow has taken you.

Angels have no thought of ever returning you.

Would they be angry if I thought of joining you?

Gloomy Sunday.

Setelah lagu itu selesai, kepala Alexander terasa seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Alexander mencoba melakukan sesuatu untuk menahan rasa sakitnya, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa karena tangan maupun kepalanya ditahan.

Lagu yang sama kembali terdengar dan rasa sakit yang Alexander rasakan reda lalu menghilang dengan cepat. Ketika lagu kembali berhenti, rasa sakit yang Alexander rasakan kembali muncul dan sedikit lebih kuat.

Hal yang sama terus terjadi berulang-ulang kali hingga mulut Alexander mengeluarkan busa putih. Alexander ingin terus mendengarkan lagu itu untuk menghindari rasa sakit yang timbul setelah lagu selesai.

"Gloomy Sunday! Haha! Hahahahaha!"

Kali ini lagu berhenti berputar lagi dan menyiksa kepala Alexander, tapi lagu tidak kunjung terdengar bahkan setelah 30 detik berlalu.

"Aaaaaaaaaaaaah!" Alexander tidak sanggup lagi menahan rasa sakit dan akhirnya jatuh pingsan.

Ketika Alexander terbangun, ia tengah duduk di kursi besi dalam ruangan serba putih. Alexander melihat sebuah pintu yang terbuka tepat di hadapannya, ia tidak bisa melihat apa-apa dari pintu itu selain kegelapan.

Alexander tanpa banyak berpikir langsung berlari ke pintu yang hanya memiliki kegelapan di dalamnya. Tidak ada hal lain yang bisa dilihat oleh Alexander, hitam dan gelap, itulah yang memenuhi penglihatannya saat ini.

Lari, lari, dan terus berlari, Alexander akhirnya melihat cahaya terang tepat di hadapannya. Alexander terus berlari dan cahaya terang itu perlahan-lahan mendekatinya. Namun, semakin dekat Alexander dengan cahaya terang, semakin berat juga setiap langkah yang diambilnya.

Alexander melihat kakinya dan menyadari jika ada sesuatu yang menjerat kakinya itu, ia mencoba melepaskan jeratan benda hitam yang agak kenyal itu dari kakinya. Berkali-kali Alexander berusaha melepaskan jeratan di kakinya, jeratan itu kembali menjerat kakinya seolah tidak ingin lepas darinya.

Jeratan lain muncul dan kali ini menjerat salah satu jari Alexander dengan kuat.

"Kakak Alexander itu sakit," lirih seorang perempuan.

Alexander membeku sesaat, ia melihat ke belakang dan menemukan sosok yang sebelumnya mengejar di lorong tanpa ujung. Lari, itulah hal pertama yang muncul di kepala Alexander, ia mengikuti isi kepalanya dan berlari sekuat tenaga meskipun beberapa bagian tubuhnya ditahan.

Tidak lama kemudian Alexander berhasil melewati cahaya terang itu dan membuatnya tidak bisa membuka mata sesaat.

"Aaaaaaaah!" jerit Alexander.

Alcatraz [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang