Sharenina Adisti, perempuan manis, baik, tapi sedikit manja. Dia adalah perempuan hebat yang tlah berhasil meluluhkan hatiku. Sungguh aku sangat mencintainya. Bisa dibilang aku jatuh cinta padanya sejak awal pertama melihat dia. Bagiku dia begitu lucu dengan tingkahnya yang terkadang masih seperti anak kecil, dan aku sangat beruntung karena kini perempuan itu tlah menjadi bagian dari hidupku.
Usia pernikahan kami baru berjalan dua tahun, dan sekarang Nina tengah mengandung, lagi. Usia kehamilannya kini sudah menginjak bulan ke 8.
Ya, dulu Nina pernah hamil, tapi dia mengalami keguguran saat usia kehamilannya menginjak bulan ke 3.
Waktu itu Nina mengeluh kurang enak badan, seharian dia bolak-balik ke kamar mandi karena terus mual, hingga tubuhnya terlihat begitu lemas. Dokter bilang itu wajar dialami wanita hamil trimester pertama.
“Mas, aku mau makan yang seger-seger,” kata Nina pelan.
“Kamu mau makan apa, Sayang?”
“Apa aja, Mas. Yang penting yang segar. Biar gak mual terus.”
Akupun pergi keluar untuk mencari makanan untuknya. Sebelum pergi aku berpesan agar dia istirahat dan kalau bisa dia tidak turun dari tempat tidur sebelum aku kembali.
Setelah membeli makanan, aku langsung buru-buru pulang, entah kenapa sejak tadi hatiku sangat tidak tenang. Aku terus kepikiran Nina yang sendirian di rumah, dan benar saja, saat aku masuk kamar dia tidak ada di atas tempat tidur.
“Sayang! Kamu di dalam?” tanyaku sedikit teriak di depan pintu kamar mandi.
Beberapa menit menunggu, namun tidak ada jawaban dari dalam. Aku membuka pintu kamar mandi untuk memastikan keberadaan Nina. Aku sangat kaget melihat dia yang sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang keluar di antara pahanya, dan akupun langsung membawa dia ke Rumasakit.
Dia sangat terpukul atas kejadian itu. Bukan hanya dia, aku pun merasa sedih, tapi aku harus terlihat baik-baik saja untuk Nina, karena di sini dialah yang pasti sangat merasa kehilangan.
“Mas, Ibram. Maafin aku. Aku gak bisa jaga calon anak kita dengan baik.”
“Gak apa, Sayang. Kamu jangan sedih, yah. Ini bukan salah kamu.” Aku berusaha menguatkan Nina.
**
Bebepa bulan setelah kejadian itu akhirnya Nina hamil lagi. Sejak saat itu aku berusaha untuk menjaga dia dengan lebih ketat lagi. Walau dia sering protes padaku. Bahkan aku meminta kedua orang tuaku untuk tinggal sementara di rumah kami selama Nina Hamil untuk membantuku menjaga Nina.
“Ya ampun, Mas. Kamu gak perlu sampe segitunya, aku bisa jaga diri, kok,” omel Nina.
“Nggak, Sayang. Aku bakal lebih tenang ninggalin kamu saat aku bekerja, kalau di sini ada Ibu yang jagain kamu.”
“Tapi, Mas!”
“Udah, Sayang. Jangan banyak protes, yah.”
“Mas nyebelin!” katanya sambil pergi menuju kamar dengan kaki yang dia hentak-hentakankan dan juga bibir yang dia cebikkan.
“Sayang, hati-hati! Jangan cepat-cepat jalannya!” teriakku setengah meledeknya.
Begitulah Sharenina, tapi walau begitu dia sangatlah baik. Dia segalanya untukku dan aku sangat mencintainya. Walau terkadang dia bisa begitu sangat menyebalkan, apalagi sekarang saat dia hamil. Membuatku harus ekstra sabar dalam menghadapinya.
Pernah suatu hari dia merengek minta aku untuk membelikannya boneka minion, setelah dia nonton filmnya.
“Iya, Sayang. Nanti aku belikan, ya,” jawabku berusaha setenang mungkin.
“Gak mau, sayang. Aku maunya sekarang. Kamu mau anak kita nanti ngeces?” katanya, “Ayo, dong, Yang.”
Aku bukannya tidak mau menurutinya, tapi toko mana yang masih buka jam 2 pagi?
“Sayang, ini jam berapa? Mana ada toko yang masih buka? Besok yah, aku janji,” jawabku, “Sekarang kamu tidur, yah. Besok kita beli minion sebanyak yang kamu mau,” bujukku padanya.
Keesokan harinya aku penuhi janjiku untuk membelikannya boneka itu. Aku suruh Nina untuk istirahat, tapi dia bersikeras untuk ikut.
“wah … lucu banget!” Antusias Nina saat berada di toko boneka. “mas, aku mau yang itu! Tunjuknya pada sebuah boneka. “Yang itu juga, Mas!” katanya.
“Kalau yang itu jangan, yah, Sayang,” kataku saat melihat boneka yang ukurannya sangat besar. Bukannya Apa-apa, soalnya dulu waktu Nina pertama kali hamil, dia juga ngidam boneka, dan hasilnya tempat tidurku digantikan dengan boneka itu. Dan aku harus mengalah untuk tidur tanpa memeluk istriku tercinta. Karena dia ingin tidur bersama boneka menyebalkan itu.
‘Aku kalah saing sama sebuah boneka.’
**
Hari ini sebelum pulang kerumah, aku mampir sebentar ke tempat penjual rujak. Karena tadi Nina telpon minta aku membelikannya rujak. Saat aku sampai rumah aku lihat Nina tengah ada di sofa sambil nonton TV.
“Sayang, kok kamu sendirian? Ibu kemana?” tanyaku heran karena keadaan rumah yang nampak sepi. Karena, biasanya jam segini Ibu sudah sibuk di dapur memasak untuk makan malam.
“Eh, Mas. Udah pulang? Aku gak dengar suara mobil kamu,” jawab Nina. “Oh, Ibu lagi pergi keluar sebentar.”
“Ya udah kalau gitu, Mas mandi dulu, yah.”
“Eh, Mas. Pesananku mana?” tanya Nina sebelum aku pergi ke kamar.
“Ini, tapi ingat jangan makan terlalu banyak dan jangan terlalu pedas,” pesanku sebelum pergi untuk membersihkan diri, sambil memberikan kantong plastik berisi makanan itu.
Setelah selesai membersihkan diri, akupun menemui Nina yang terlihat asik memakan rujaknya.
“Mas mau?” Ini enak, lho. Mas,” tawarnya saat aku duduk di kursi yang ada di depannya.
“Nggak, Sayang. Aku ….”
Ucapanku terhenti saat mencium sesuatu yang sangat menyengat. Aku ambil piring yang berisi rujak itu, dan ternyata Nina menambahkan bubuk cabe yang sangat banyak di sana.
“Apa-apaan ini!” emosiku sambil melempar piring itu ke lantai. “Kamu gak dengar apa yang tadi aku bilang?” Aku benar-banar kesal sama dia.
“Tapi, Mas, kalau gak pedas gak enak,” katanya setengah takut sambil menunduk.
“Nina, kamu jangan egois seperti ini! Pikirkan kesehatan kamu dan juga calon anak yang ada di dalam perut kamu!” marahku, “Sekarang terserah kamu. Aku gak perduli, karena kamu susah dikasih tahu,” kataku dan setelah itu aku pergi meningggalkannya di sana.
Hingga malam hari saat kami makan malam, aku masih tidak bicara sama Nina.
“Lho, Nina, kok makannya cuma sedikit, sih? Ayo tambah lagi makannya biar calon cucu Ayah dan Ibu kuat,” kata Ibu.
“Ibram, kok kamu diam aja? Gak biasanya?” tanya Ayahku.
“Gak apa-apa, Yah,” jawabku, “Bu, Imran ke kamar dulu,” pamitku meninggalkan mereka yang masih ada di meja makan.
Aku bisa lihat raut wajah Nina yang sangat sedih karena aku cuekin. Sebenarnya aku tidak tega, tapi ini semua aku lakukan untuk kebaikannya, aku hanya ingin dia menyadari kesalahannya.
Saat Nina masuk kekamar, aku pura-pura fokus pada layar ponsel, tapi aku bisa melihat pergerakannya melalui sudut mataku. Dia berdiri di depan pintu dan memandangku, sebelum akhirnya dia masuk ke kamar mandi.
“Mas,” pangggilnya pelan setelah keluar dari kamar mandi. Aku pura-pura tidak mendengar sampai akhirnya dia panggil aku lagi.
“Mas … Sakit.”
Aku langsung berlari dari atas tempat tidur menghampiri Nina yang meringis kesakitan di depan pintu kamar mandi, kulihat ada darah yang mengalir dari pahanya.
“Sayang, kamu kenapa?” panikku.
“Sakit … Mas.”
Nina terus meringis kesakitan, aku berteriak panggil Ayah dan Ibu, dan kami pun langsung membawa Nina ke Rumasakit. Setelah beberapa lama diperiksa, Dokter bilang dia akan melahirkan saat ini, padahal usia kehamilannya baru 8 bulan.
“Kondisi Nina sangat lemah, dia kehilangan banyak darah, keadaanya sangat kitis,” kata Dokter yang memeriksa Nina.
Aku benar-benar kalut, pikiranku begitu kacau, aku tidak mau kehilangan Nina. Aku tidak bisa bayangkan jika dia tidak ada di sampingku lagi.
“Dokter, Selamatkan Nina, berapapun biayanya akan aku bayar, yang penting Nina harus selamat,” pintaku memohon.
“Maaf, Pak …,” Aku langsung menarik kerah baju Dokter itu emosi. Karena aku tidak suka mendengar ucapannya yang meminta maaf. “Istriku harus baik-baik aja!”
“Ibram! Tenangkan dirimu!” bentak Ayah padaku. “Biarkan Dokter melakukan tugasnya!”
“Tapi, dia malah minta maaf, Yah. Itu artinya dia melakukan kesalahan terhadap Nina!”
“Imran!” teriak Ayah marah.
“Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semampu kami, tapi ….”
Seketika tubuhku merosot, pikiranku dipenuhi semua bayangan tentang Nina istriku.
**
“Mas, aku sayang kamu.”
“Mas, Ibram selamat tinggal.”
“Nina!” teriakku.
“Kamu sudah sadar, Nak?”
Aku mengedarkan pandanganku ke semua arah, dan aku lihat Ibu yang ada di sebelahku.
“Bu, kenapa aku ada di sini? tanyaku heran saat sadar kalau sekarang aku ada di ruangan Rumasakit dengan infus yang terpasang di tangan.
Seketika aku teringat Nina, Perempuan yang beberapa jam yang lalu aku marahi, perempuan yang beberapa jam yang lalu masih dapat kulihat senyum manisnya.
“Bu, Nina …”
“Nina dan anak kamu baik-baik aja, dia perempuan yang kuat, dia berjuang untuk kamu dan jagoan kalian,” terang Ibu. “Eh, malah Bapaknya yang lemah sampai gak sadarkan diri.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Story
Short Storyfollow dulu penulis nya Hanya berisi kisah Cinta. Ini random, ya. Cuma cerpen saja. Berikan dukungan nya kalau suka, jangan cuma di lihat dan di baca aja,,inikan bukan koran,,he,,he Kalau penasaran langsung baca, kalau gak penasaran, baca aja dulu...