Tatapan tajam mata Ezra yang tak pernah luput dari Yaya membuat perempuan itu seakan tak bisa menelan semangkuk bakso urat yang tadi diberikan Ezra padanya. Bakso yang dingin serta sorot mata yang membuat ia terus merinding sungguh menyiksa dirinya. Setidaknya, ia harus memperlama kunyahannya agar detik kematiannya juga semakin diperpanjang. Setidaknya itu yang Yaya pikirkan.
Tik. Tik. Tik.
Bunyi itu terdengar sampai sepuluh kali, lalu berhenti. Membuat Yaya juga otomatis menghentikan aktifitasnya. "Waktu habis." Ezra memasukkan arloji lama ke dalam kantungnya yang merupakan sumber bunyi tadi, lalu menghampiri Yaya yang terduduk lemas, cemas dengan nasibnya.
"Minum." Yaya menyambar sebotol air mineral yang disodorkan Ezra ke arahnya, mencoba menghirup banyak-banyak air agar tenggorokannya yang kering kembali basah. Setelah habis, Ezra mengambil botol itu lagi, lalu membakarnya di hadapan Yaya. "Jangan sampai meninggalkan bukti." Ujarnya dengan senyum yang terlihat menakutkan itu.
"Kamu tahu, alasan kak Ezra bawa kamu ke sini?"
Yaya menggeleng. Airmata takutnya kembali menetes. "Kamu orang baik, Ya. Tapi dunia terlalu menyia-nyiakanmu. Kak Ezra tahu, pasti hatimu sangat sakit, kan, saat kamu diperlakukan tidak adil di restoran tempo dulu? Sampai dipecat secara sepihak, padahal bukan sepenuhnya salahmu."
Ezra mengelus pelan pipi Yaya yang sudah basah dengan airmata. "Kak Ezra akan bantu kamu untuk bebas dari dunia yang terlalu jahat ini. Setelah itu, kamu harus berterimakasih sama kak Ezra, mengerti?" Yaya terus menggeleng, mengharap pengampunan pada lelaki di hadapannya ini. Ia masih ingin hidup, masih ingin berkumpul dengan keluarganya di Bontang sana. Mengapa nasib buruk terus-terusan mengincarnya?
Ekspresi ketakutan dan pengharapan yang ditunjukkan Yaya bukannya membuat Ezra kasihan. Ia malah suka ekspresi itu. Raut wajah putus asa yang ditunjukkan setiap korban-korbannya, membuat adrenalinnya semakin bertambah. Ezra lalu memperhatikan setiap inchi tubuh Yaya, menimbang bagian mana yang akan ia ambil dari Yaya sebagai balasan dari bantuannya.
"Kaki. Kak Ezra mau kakimu." Yaya semakin merinding. Ia kemudian ingat dengan berita tempo hari yang ia tonton di televisi, mengenai pembunuhan berantai yang mayatnya pasti kehilangan satu bagian tubuhnya. Jadi, Ezra pelakunya? Oh, Tuhan. Ia salah mengenal orang.
Tak lama kemudian, Yaya merasakan pusing pada kepalanya. Pandangannya berputar, lalu buram. Terakhir yang ia ingat, senyum Ezra semakin mengembang ketika melihatnya limbung ke arah samping. Yaya ambruk, sudah tak sadarkan diri. Ezra lalu kembali mengambil arloji tuanya dan melihat detik di sana. "Satu menit dua puluh sembilan detik. Lumayan cepat juga reaksi obat tidurnya."
*******
Tubuh ringan Yaya digendong Ezra dengan mudahnya, menuju salah satu pekarangan rumput di daerah bukit bagian Utara kota Jakarta, tempat yang sudah lama tidak dilewati orang. Butuh waktu dua puluh menit dari gudang tua tempat ia menyekap Yaya tadi menuju bukit ini menggunakan mobilnya. Tak apa, ia sedang ingin menghirup udara dingin malam yang selalu berhasil membuka paru-parunya.
Tangan dan kaki gadis itu sudah tak terikat, begitu juga dengan mulut dan matanya. Mungkin, lima menit lagi Yaya akan sadar. Ezra sudah menunggu-nunggu moment itu. Ia tidak membunuh makhluk lemah yang sedang pingsan. Tidak sama sekali. Ia ingin setiap manusia yang ia selamatkan nyawanya benar-benar sadar bahwa ia sedang diselamatkan seorang malaikat bernama Ezra Adithama. Ia ingin wajah-wajah pasrah itu menatap penyelamatnya.
Benar saja, lima menit kemudian mata gadis itu mengerjap-ngerjap pelan. Ketika pandangannya kembali, ia sadar bahwa kini punggungnya sudah bersentuhan dengan dinginnya tanah, beratapkan langit hitam bertabur bintang berkelip. Sebenarnya, pemandangan ini sangatlah indah jika dalam situasi normal. Namun untuk kondisinya saat ini, pemandangan ini malah terasa semakin mencekam. Terlebih, ketika seketika ia merasakan perutnya berat. Dan sedetik kemudian ia sadar, bahwa ada sebuah tubuh yang sedang mendudukinya. Ezra.
KAMU SEDANG MEMBACA
• AMYGDALA ERRORED •
Детектив / ТриллерHealing for him is killing. Take any soul from their body, smile happily when they ask to not kill them in despression voice, is really the best healing for him. His Amygdala was errored, and there's no way to fix it. Amygdala: • noun [ C ] • ANATOM...
