• CANDLE •

120 23 16
                                    

      Satu jam sudah Yuno dan Lenna menunggu si pemilik butik. Salah mereka memang, yang tidak menyusun janji terlebih dahulu untuk bertemu. Seharusnya mereka tau bahwa Ezra Adithama adalah orang sibuk yang punya banyak jadwal. Untung saja, asisten Ezra sangat ramah dan tidak mengusir mereka. Beberapa cemilan dan minuman bahkan tersedia di atas meja.

      Tak lama kemudian, yang ditunggu akhirnya tiba. Ezra memasuki ruangan dengan wajah yang datar, tanpa ekspresi bahkan. "Maaf membuat kalian menunggu," Ujarnya, yang langsung duduk di sofa depan Lenna. "Jadi, ada yang bisa saya bantu?"

     Yuno mengeluarkan tanda pengenalnya dari balik jaketnya. Walaupun mereka sempat berkenalan tempo dulu, tapi ini tetap harus dilakukan untuk formalitas. "Perkenalkan, Saya Detektif Yuno. Maaf jika kami mengganggu waktu santai anda, Pak Ezra."

     "Tentu anda sudah tau mengenai pembunuhan berantai yang mengancam Jakarta beberapa tahun ini," Yuno menjelaskan pada Ezra, yang dibalas dengan anggukan paham. "Bahkan belakangan ini, pelaku menjalankan aksinya dalam waktu yang berdekatan. Terakhir, kami menemukan korban selanjutnya di bukit bagian utara kota."

     Ezra mengerutkan dahinya, "Iya, saya sempat menonton beritanya. Lalu, ada hubungan apa dengan saya?"

     "Kamu ingat, nggak? Kita pernah ketemu di rumah makan tempo hari." Kali ini Lenna yang bersuara, membuat Ezra kembali mengangguk. "Saat autopsi, kami menemukan sepotong bungkusan bertuliskan nama rumah makan tersebut, dan juga fakta bahwa dalam lambung korban terdapat makanan yang belum sempat tercerna sepenuhnya, dan makanan itu adalah bakso urat, sama seperti yang kamu beli pada hari itu."

     "Lalu?" Wajah Ezra masih tenang, tak menampakkan ekspresi yang berarti. Seharusnya, jika memang ia adalah pelaku yang sebenarnya, ia akan menampakkan kegugupan yang terlihat bahkan dengan mata telanjang. Begitu yang Yuno ketahui selama ia berhadapan dengan calon tersangka.

     "Setelah dari rumah makan itu, kamu kemana?" Tanya Lenna lagi.

     "Pulang, tentu saja."

     "Ada saksi yang bisa menguatkan alibimu?"

     "Saya tinggal sendiri. Berarti, saya tidak punya alibi untuk itu?"

     Sumpah, Yuno benci sekali mendengar nada bicara lelaki di hadapannya ini. Nada bicara sombong dan menantang.

     Mata Lenna lalu menangkap satu benda yang tergeletak di atas meja resepsionis. Sebuah lilin aromaterapi berwarna hitam yang entah mengapa membuat rasa penasaran Lenna sedikit tergelitik.

      "Kamu suka koleksi lilin?" Tanya gadis itu spontan, masih sambil melihat lilin di atas meja itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

      "Kamu suka koleksi lilin?" Tanya gadis itu spontan, masih sambil melihat lilin di atas meja itu. Mata Ezra kemudian mengikuti sorot mata Lenna. "Tentu. Who didn't?"

      "Anda hanya mengoleksi lilin seperti ini?" Kali ini Yuno yang bertanya. Seperti mendapatkan kartu kesempatan untuk membuka celah misterius dari lelaki ini. Feelingnya kuat benar, jika lelaki ini ada hubungannya dengan kasus pembunuhan ini.

• AMYGDALA ERRORED •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang