• AUTOPSY •

179 26 11
                                    

     Beberapa hari kemudian, Yuno sudah mendapatkan hasil otopsi dari korban terakhir yang mereka temukan.

    "Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual pada organ intim korban. Penyebab kematian, kehabisan napas karena cekikan kuat di bagian leher. Dan untuk bekas lilin, sepertinya pelaku menyulutkan api terlebih dahulu di tempat yang akan ditetesi lilin sampai kulit korban kemerahan, barulah ia teteskan lilin panas disana." Yuno membacakan hasil otopsi saat rapat sedang berlangsung pagi itu.

    Lenna bergidik ngeri. Pembunuh ini benar-benar psychopath. Ia menikmati setiap proses membunuh korbannya, seakan-akan hatinya bersorak riang ketika melihat korban kesakitan.

    "Bagaimana dengan potongan jari korban? Apakah ditemukan di sekitar lokasi?" Pertanyaan ini meluncur dari bibir Lenna.

     "Sabar, Lenna. Saya belum selesai menjelaskan," Yuno menatap Lenna yang sedikit mencibirnya. Dalam hati, Yuno ingin tertawa melihat Lenna yang menatapnya sinis. Gemas.

     "Potongan jarinya hilang. Tim sudah menyelusuri lokasi pembunuhan sampai radius 1 km, tapi tetap tidak ditemukan apapun. Penjahat ini, benar-benar teliti. Dia tidak memberikan akses sedikitpun kepada kita untuk mengetahui siapa dia."

     "Tapi," Yuno sedikit mencondongkan badannya ke depan, diikuti dengan seluruh anggota tim.
"Bekas potongan jari tersebut dijahit dengan benang khusus operasi, dengan jahitan yang amat rapi. Dokter ahli forensik mengatakan, hanya seseorang yang berprofesi sebagai dokter yang bisa menjahit dengan sempurna seperti ini. Tidak, bahkan tidak semua dokter bisa menjahit serapi ini, hingga bekas potongan tertutup sempurna."

     Lenna berpikir sejenak. "Berarti, pelakunya dokter?
"Bisa jadi." Salah satu anggota tim yang biasa dipanggil 'Mas Didi' menjawab. Beliau adalah ahli dalam bela diri, salah satu aset dalam tim ini.
    
"Kalau begitu, kita selidiki seluruh dokter di Jakarta yang tidak memiliki alibi di tanggal kejadian, sejak pukul setengah 9 malam sampai subuh."

     Yuno lalu membagi tim menjadi 2 kelompok, dengan satu tim ke arah utara dan timur, sementara tim lain ke arah sisanya. "Tapi, Yun. Dokter di Jakarta ini banyak. Banget. Kita gak akan bisa menyelidiki semuanya. Harus diperkecil lagi ciri-cirinya supaya memudahkan kita."

     Lelaki di samping mas Didi, yang Lenna kenal bernama Dendra, ikut angkat bicara. "Dokter laki-laki. Dengan range umur sekitar 25 sampai 40, umur yang masih kuat untuk mencekik dan menyeret korban ke lokasi pembunuhan." Beliau ini ahlinya menganalisa tanda-tanda kekerasan yang terdapat pada tubuh korban.

     Pendapat itu disetujui ketua tim, dan mereka langsung menyebar ke arah yang sudah ditentukan.
"Firasatku gak enak." Ujar Lenna yang satu tim bersama Yuno.
"Kenapa, Na?"
Lenna mengedikkan pundaknya. Ia sendiri tak tahu mengapa rasanya mereka menempuh jalan yang salah. Namun, ia berusaha percaya pada Yuno, yang memang sudah tak diragukan lagi kemampuannya dalam menyelidiki kasus.

     Sampai di sore hari, mereka kembali berkumpul di kantor untuk membicarakan hasil penyelidikan.
"Dari 300 lebih dokter yang terdata, kami baru mendatangi 50 dokter. Dan hampir semua memiliki alibi yang bisa dipercaya. Ada yang sedang jaga malam, ada juga yang sedang beristirahat di rumahnya, dengan dukungan kesaksian dari keluarganya." Ujar Mas Didi.

     Yuno menghembuskan napas beratnya. Tak jauh berbeda dengan hasil penyelidikan tim mereka. Bahkan mereka hanya bisa menemui kurang dari lima puluh dokter sejak tadi.
"Kita lanjutkan penyelidikan esok hari. Silakan kembali ke rumah masing-masing. Kerja bagus hari ini, tim!"
Inilah mengapa Yuno selalu dipercaya menjadi pemimpin tim. Selain memang handal, ia selalu bisa membuat anggota timnya merasa dihargai dalam setiap pekerjaan mereka. Walaupun belum mendapat hasil yang signifikan, namun ia tetap memberikan apresiasi kepada setiap kerja keras tim.

• AMYGDALA ERRORED •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang