Pagi hari kembali menyapa raga Lenna yang sejak subuh sudah duduk manis di meja kerja yang berada di sudut kamarnya. Bukan untuk menganalisa kasus, ataupun membaca berkas bukti yang diterimanya dari Riza kemarin, melainkan membuka lembaran buku album foto lama berisikan kenangan-kenangan bersama kedua orang tuanya. Dalam tidurnya tadi, ia memimpikan keduanya sedang duduk di taman yang sangat indah, penuh bunga bermekaran warna-warni yang menambah keindahan di sana. Dipayungi birunya langit yang cerah, membuat siapa saja yang duduk di bawahnya betah dan seakan tak ingin beranjak.
Mama dan papanya duduk di bangku taman, saling berpegangan tangan dengan kepala sang wanita disandarkan pasrah ke pundak sang lelaki, saling merayu penuh sayang. Lenna tersenyum senang sambil menatap dari belakang. Keduanya memang seperti ini, selalu mesra dimanapun, tak ragu menghujani kasih terhadap sesama.
Baru saja kaki Lenna melangkah beberapa meter mendekati bangku taman itu, tiba-tiba seorang lelaki muda yang tak dapat Lenna lihat wajahnya berlari mendekati orang tuanya lebih dulu dari arah samping, berhenti di hadapan mereka yang tercengang kaget karena kedatangan lelaki itu, dan mencengkeram leher keduanya di masing-masing tangan besarnya, kemudian mengangkatnya dengan mudah sampai kaki keduanya melayang tak menyentuh tanah lagi. Lenna berteriak, meminta pertolongan atas apa yang dilihatnya itu, karena kakinya sendiri mendadak tak bisa digerakkan.
Namun nihil, orang sekitar seakan tak menyaksikan adegan memilukan itu, terus lalu lalang tanpa menengok bahkan menghentikan. Sementara kedua orang tuanya sudah tak lagi meronta, terdiam lemas dengan leher yang masih tercekik di tangan kiri dan kanan lelaki itu. Air mata sudah banjir di pipinya, menangisi ketidak berdayaan dalam menolong kedua orang tercintanya itu. Dan sesaat, mata Lenna bertemu dengan sorot tajam milik lelaki itu, yang walau samar namun tetap mencarkan aura kebencian yang sangat jelas, sambil bibirnya bergerak seakan mengucapkan sesuatu. Dan Lenna tahu, seakan mendengar, bahwa lelaki itu berucap "Berikutnya, giliranmu, Lenna." ke arahnya, dan sukses membuat Lenna bangun dari mimpi buruknya itu.
Sejak terjaga itu, Lenna tak bisa lagi memejamkan matanya. Bayang-bayang lelaki yang nampak tak asing itu terus berputar di depan wajahnya, seakan menerornya dan membuat kepalanya sakit. Tidak, Lenna tidak takut. Ia hanya terus bertanya, siapakah lelaki itu? Mengapa ia bisa berada di mimpinya? Apakah lelaki itu ada hubungannya dengan kematian kedua orang tuanya?
Tak bisa tidur, Lenna akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat kembali album foto lama yang tersimpan di laci mejanya. Banyak kenangan terpatri di sana, mulai dari potret dirinya yang masih bayi, belajar berjalan, hari pertama papanya mengantarkannya sekolah, hingga saat dirinya berfoto bersama mama dan papanya saat dirinya dipilih menjadi salah satu dari dua siswa yang akan menjalani pertukaran pelajar ke Amerika Serikat. Lenna ingat, foto itu diambil 3 hari sebelum keberangkatannya ke Amerika. Senyumnya begitu lebar di sana, seakan waktu itu adalah saat yang sangat membahagiakan bagi dirinya. Padahal saat itu ia belum menyadari, jika potret itu menjadi potret terakhir mereka bertiga bisa berphoto bersama, karena sehari setelah foto itu diambil, tragedi mengenaskan terjadi. Mamanya ditemukan tewas di belakang gedung sekolah, dengan kondisi mengenaskan.
Jika Lenna tak salah ingat, terdapat sebuah tusukan tepat di dada kirinya, dengan gunting berwarna hitam yang masih tertancap di sana. Lehernya memerah akibat cekikan kuat, serta sebuah tanda seperti terbakar di telapak tangan kanannya. Hampir melepuh, syukurnya belum. Di ujung buku-buku jarinya, terdapat sisa lilin yang sudah putih mengeras menutupi kulit.
Kening Lenna mendadak berdenyut, membuatnya refleks memejamkan mata karena sakitnya. Apa ini? Mengapa rasanya ia pernah melihat adegan itu sebelumnya? Tak asing. Ia familier dengan hal ini.
"Astaga!" Pekik Lenna semenit kemudian. Dahinya ditepuk keras sampai menghilangkan denyutan menyakitkan tadi. Cepat ia membuka kembali lembaran album lama tadi, mencari tulisan yang harusnya ada di belakang foto tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
• AMYGDALA ERRORED •
Детектив / ТриллерHealing for him is killing. Take any soul from their body, smile happily when they ask to not kill them in despression voice, is really the best healing for him. His Amygdala was errored, and there's no way to fix it. Amygdala: • noun [ C ] • ANATOM...
