• WITNESS [3] •

92 20 36
                                        

Yuno akhirnya tiba di kafe tersebut pada menit ke sembilan, hampir saja kesabaran Lenna sudah mencapai batasnya. "Mas, ayo cepat. Perasaanku benar-benar tidak enak." Ujar Lenna tergesa menghampiri Yuno yang baru saja masuk ke dalam kafe tersebut. Lenna langsung menarik tangan Yuno kembali ke mobil, mendudukkan lelaki itu di depan alih kemudi, lalu ia masuk ke dalam mobilnya sendiri. Baru saja kunci mobilnya ia masukkan ke dalam kontaknya, tahu-tahu Yuno sudah membuka pintu mobil Lenna.

"Mau apa? Ayo cepat." Ujar Lenna kesal. Bukannya menjawab, Yuno malah mengambil kunci mobil Lenna dan menarik pelan wanita itu keluar mobil. "Pake mobilku aja. Aku nggak bisa biarin kamu nyetir dengan keadaan seperti ini."

Mau tak mau Lenna menuruti perkataan Yuno. Ia sedang malas berdebat, apalagi dalam situasi genting seperti ini.

Mobil Yuno melesat cepat membelah jalanan ibu kota, berjalan menuju lokasi yang sudah ditunjukkan oleh GPS sesuai dengan titik yang dikirimkan Riza tadi. Dan akhirnya mereka tiba di sebuah lokasi perumahan yang asing, belum pernah keduanya jejaki. "Disini," Kata Lenna sambil melihat ponselnya. "lokasi terakhir ponsel Riska aktif. Tepat disini." Mata Lenna mengedar ke sekitar. Rumah-rumah yang berdempetan, dengan jalanan aspal menanjak yang dibantu oleh tangga-tangga kayu lebar sebagai bantuan menuju ke atas. Di sebelah utara mereka, masih ada satu tangga lagi menuju ke bawah, sepertinya tangga terakhir menuju perumahan yang lebih padat lagi.

"Kita berpencar, siapa tau ada yang melihat Riska kemarin." Lenna mengangguk mendengar perintah Yuno. "Hati-hati, Lenna. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku." Sambung Yuno lagi, menatap partner wanitanya itu dengan penuh kegelisahan, seperti berat berpisah dalam situasi seperti itu. Lenna hanya mengangguk, mengiyakan seluruh perintah Yuno, juga paham dengan kegelisahan lelaki itu. Namun ia tak mau ambil pusing. Yang ada di pikirannya sekarang adalah ia harus menemukan Riska, teman lamanya serta juru kunci dari misteri kematian mamanya empat belas tahun silam.

Keduanya lalu berpencar di sana, mencari-cari alamat ataupun petunjuk yang bisa didapatkan, menyusuri gang-gang itu dengan hati-hati juga waspada. Sesekali bertanya pada penduduk setempat yang terlihat, menanyakan jika mereka mengenal Riska yang tinggal di sekitar situ.

"Oh, Riska? Sepertinya saya mengenalnya. Gadis yang tinggal sendiri di rumah ujung itu bukan, sih?" Seorang ibu yang sedang berkumpul dengan beberapa ibu lainnya akhirnya memberikan titik terangnya. "Cewek yang jarang ke luar rumah itu, ya? Oh, saya baru tau namanya Riska." Satu ibu lainnya menimpali.

"Kira-kira, ibu-ibu sekalian ada yang liat dia nggak kemarin?" Tanya Lenna, yang kini juga sudah duduk di perkumpulan tersebut, sambil tangannya iseng mengambil dan menyiangi kangkung yang sedang dikerjakan ibu-ibu tadi.

Ibu di sampingnya kemudian menjawab, "Saya terakhir kali liat anak itu kemarin siang, sepertinya. Waktu itu ia baru keluar dari rumahnya, pakaiannya serba hitam, memakai topi juga masker. Jalannya buru-buru, seperti sedang dikejar sesuatu." Pasti itu ketika Riska akan pergi menemuinya di tempat perjanjian. "Setelah itu, saya nggak liat dia lagi sampai hari ini, dek."

"Dek Riska itu, memang keliatan tidak bersahabat, ya? Jarang sekali ibuk liat dia bergaul dengan kita. Keluar mungkin hanya sebulan sekali untuk memenuhi kebutuhannya, itupun sebentar sekali, lalu berdiam diri lagi di rumah. Kadang ibuk pengen tegur, tapi ngeri juga, dia keliatannya tidak suka dengan orang asing." Ibu yang terlihat lebih tua dari yang sebelumnya ikut mengutarakan pendapatnya.

"Mungkin memang sedang ada masalah. Toh kita ndak kenal sama dia. Jangan nuduh yang macem-macem dulu." Satu lainnya menimpali. Lenna hanya mendengarkan semua yang diucapkan ibu-ibu tersebut, sembari mengumpulkan opini-opini mereka di memori kepalanya.

• AMYGDALA ERRORED •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang