Chapter 26

3.7K 484 9
                                    


Rania pov

Aku mengamati pusara ayahku, tampak terawat dengan batu nisan dan pagar disekelilingnya.

Pasti keluarga Hendrawan, aku bersyukur mereka tetap menghormati ayahku, bahkan setelah yang terjadi antara aku dan anaknya.

Aku merasa bersalah karena baru sekali ini aku mengunjungi makam ayahku setelah pemakamannya. Anak macam apa aku ini?

Satu hal yang sangat kusyukuri adalah saat ayahku pergi dengan tenang tanpa sempat mengetahui permasalahan rumah tanggaku.

"Kamu di sini?" Suara yang kukenal, aku membalikkan tubuhku.

"Kamu kemana saja, aku mencarimu selama ini," ujarnya.

Aku berusaha menata emosiku, berusaha tampak tenang di depannya.

"Bagaimana kabar mama papa?" tanyaku.

"Kamu hanya menanyakan mereka? Apa kamu tidak mau tau keadaanku?" protesnya.

"Seperti yang kulihat, kamu baik-baik saja tanpa aku 'kan?"

"Kenapa kamu sangat yakin?" Nada bicaranya sangat datar.

"Ya, seperti itu 'kan seharusnya? Kita hanya sebentar berumah tangga, seharusnya tidak membutuhkan waktu lama juga untuk melupakanku," ujarku santai.

"Kamu yang terlihat baik-baik saja, bukan aku," elaknya.

"Sampaikan salamku untuk mama dan papa." Aku beranjak pergi.

"Kenapa tidak kamu sampaikan sendiri?" Dia menahan langkahku.

"Aku ...."

"Kamu akan pergi lagi?" tanyanya.

"Ya." Sejujurnya aku tidak tau harus pergi kemana setelah ini.

"Kemana kamu akan pergi?" Dia bertanya.

"Apa aku harus memberitahumu?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Karena kamu masih istriku," ujarnya dingin.

"Apa maksudmu?" Aku bertanya keheranan.

"Aku belum mengurus surat perceraian kita, aku ...."

"Kalau begitu aku yang akan mengurusnya," potongku.

"Rania, pulanglah! Aku belum merubah apapun di rumah kita, semua masih sama seperti saat kamu pergi." Dia memohon.

"Maafkan aku karena belum sempat membereskan semua barang-barangku, aku akan menyuruh Lilis mengambilnya, atau kamu bisa membuangnya saja," ujarku.

"Rania, apa aku tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua?" Dia kembali membahas masalah yang telah lalu.

"Aku sudah pernah memberikannya dan kamu menyia-nyiakannya begitu saja," sindirku.

"Mana ada orang yang bercerai ketika baru pertama kali melakukan kesalahan?" ujarnya.

"Tapi kesalahan yang kamu lakukan itu sangat fatal bagiku. Kamu sudah menuduhku dengan sangat kejam," ujarku.

Masih teringat jelas saat dia menuduhku berselingkuh dan hamil anak pria lain. Hal itu sangat melukai harga diriku, dia pikir aku serendah itu?

Dia juga menuduhku menikahinya hanya demi uang, dia mengatakan aku sama murahannya seperti ibuku. Pergi ke pelukan pria kaya yang satu dan berpindah ke yang lain.

"Aku menyesal, si brengsek itu sudah mengatakan yang sebenarnya," ujarnya dengan nada penuh penyesalan.

"Jangan terlalu menyalahkannya, kamu tahu semua tergantung padamu. Apapun yang dikatakannya, kalau saat itu kamu memilih mengabaikannya dan mempercayaiku pasti semua akan baik-baik saja," ujarku.

Suami Instan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang