Chapter 14

4.1K 541 5
                                    


Rania POV

Hari ini aku memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar pasar tradisional yang tidak jauh dari pantai. Losmen tempatku menginap tidak jauh dari sana.

Aku berjalan santai sambil menghirup udara pantai dipagi hari. Kuhembuskan nafasku dalam-dalam berharap semua rasa sesak di dada keluar bersama hembusan nafas.

Aku melihat-melihat stand yang menjual pakaian, aku memutuskan untuk membeli beberapa. Maklum selama pelarianku aku tidak membawa pakaian selembarpun.

Aku terkejut ketika melihat tiruan produk dari perusahaan suamiku. Entahlah, apa yang akan dilakukannya jika mengetahui produknya dipalsukan.

Ah, ternyata aku tidak bisa lepas dari memikirkan dia.

Bagiku ini sangat menyesakkan, mengingat di sini hanya aku saja yang bersedih, sedangkan dia masih bisa tertawa lepas bersama wanita lain.

"Hei, lama tak bertemu."

Aku tak perlu menoleh untuk melihat siapa yang menyapaku.

"Kenapa kamu selalu berada di sekililingku, apa kamu menguntitku?"

"Cinta selalu menuntun pada jalan yang benar," katanya sok puitis.

"Cinta kepalamu, apa kamu begitu takut aku menghabiskan uangmu?"

"Aku hanya sedikit mengkhawatirkan keadaanmu, tidak! Sebetulnya banyak." Ia meralat ucapannya sendiri.

"Apa pengusaha sepertimu sangat banyak mempunyai waktu luang sehingga bisa menguntit seorang wanita ke mana-mana?" sindirku.

"Bagiku cinta lebih penting daripada harta benda," ujarnya melankolis. Sangat menyebalkan.

"Apa yang sebenarnya kau bicarakan? Cinta begini, cinta begitu! Terus terang aku sangat muak mendengarnya," ujarku ketus.

"Terkadang mulutmu bisa terdengar sangat kejam, tapi aku suka wanita sepertimu. Berbeda seperti wanita yang biasa berkencan denganku, kamu berkarakter," ujarnya.

"Memangnya seperti apa wanita yang biasa kamu kencani?" Aku bertanya.

"Aku berkencan dengan segala macam wanita dari yang muda hingga yang tua dan beragam profesi," terangnya.

"Apakah istri orang masuk dalam list mu juga?" sindirku.

"Tergantung."

"Dasar gila! Kebetulan kamu ada di sini, aku kembalikan kartumu. Aku akan membayar hutangku setelah aku kembali ke rumah." Aku menyerahkan kartu miliknya.

"Pakai saja sesukamu." Dia tak mau menerimanya.

"Kamu pikir aku bodoh? Kamu pasti melacak keberadaanku menggunakan kartu ini." Aku memasukkan kartu itu ke saku bajunya. Aku beranjak pergi meninggalkannya.

"Kemana kamu akan pergi setelah ini?" Dia bertanya.

"Ke tempat dimana tidak ada kamu," jawabku.

"Percuma, kemanapun kamu pergi aku pasti bisa menemukan kamu," ujarnya, terdengar sangat memuakkan.

"Memangnya kamu memasang pelacak di tubuhku?"

"Sudah kubilang cin ...."

"Stop! Berhenti mengucapkan kalimat menjijikkan itu lagi," potongku.

"Kenapa kamu sangat membenciku?" Dia bertanya.

"Tanyakan saja pada dirimu sendiri!" jawabku kasar.

"Tidak apa, aku malah suka kamu membenciku. Bagiku benci adalah perasaan yang paling murni. Batas antara benci dan cinta itu hanya setipis kulit ari. Seperti namanya, benci, benar-benar cinta." Dia tersenyum miring.

Suami Instan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang