Bab 18 - Medan Perang Kelas Berat

3.1K 352 72
                                    

Medan Perang Kelas Berat

Awan menjerit kesakitan ketika tiba-tiba Adel menjambak rambutnya di depan pintu apartemennya. Tanpa peringatan. Bahkan, ketika Awan membelakanginya saat akan memasukkan kode pintunya.

"Del, kamu kenapa, sih? Aku salah apa lagi?" protes Awan sembari memegangi rambutnya yang dijambak Adel.

"Berani-beraninya kamu nyuapin aku makanan yang aku nggak pengen!" bentak Adel.

"Katamu, kamu nggak punya makanan kesukaan dan semacamnya," sebut Awan.

"Aku bukannya nggak suka, tapi nggak pengen! Apa kamu nggak bisa bedain dua kata itu? Perlu aku cariin guru bahasa Indonesia juga buat kamu?!" bentak Adel dengan tangan semakin keras menjambak rambut Awan.

Saat itulah, terdengar seruan panik serombongan manusia tak berakhlak yang baru keluar dari lift.

"Bu, Bu, ada apa ini? Semuanya bisa dibicarakan baik-baik." Wikipedia.

"Iya, Bu, jangan pakai kekerasan. Kasihani Awan yang lemah dan nggak berdaya ini." Nugie Bucin.

"Iya, Bu. Teman saya ini mungkin nggak banyak gunanya, tapi dia baru aja selamat dari kematian. Masa harus sekarat lagi, Bu?" Ramli memang selain karena uangnya, tidak ada gunanya sebagai sahabat.

Namun, hebatnya kekuatan Adel, ketiga pria dewasa itu tak satu pun yang berani menarik tangan kejam Adel dari rambut Awan yang tersiksa lahir dan batin.

"Del, ampun, Del, nggak lagi-lagi," kata Awan. "Tadi itu khilaf."

Akhirnya, Adel mendorong kepala Awan sebelum melepaskan jambakannya. Hampir saja kepala Awan terbentur pintu apartemennya. Auto pecah berkeping-keping. Nggak cuma otaknya yang hilang nanti, nyawanya juga ikut hilang. Barbar sekali calon istrinya ini.

"Ini peringatan terakhirku," ucap Adel tajam. "Dan besok, kita pergi jam sepuluh. Kalau sampai kamu belum siap jam sepuluh tepat, aku botakin kepalamu."

Mampuslah, dibotakin auto jadi avatar Aang.

Adel pergi dengan menghentakkan kaki, lalu membanting pintu apartemennya. Awan menghela napas lega bersamaan dengan ketiga temannya yang sama sekali tak berguna.

"Lo kenapa lagi sih, Bro? Suka banget bikin perkara sama si Pencabut Nyawa." Nugie malah menyalahkan Awan. "Hampir aja copot pala lo."

Awan mengusap-usap kepalanya. Traumanya semakin parah. Mulai sekarang, jika bertemu Adel, Awan harus selalu waspada dan memakai topi. Berlapis-lapis kalau perlu, kayak wafer.

"Masuk dulu, deh. Gue haus banget, Bro. Minta minum," kata Ramli.

"Udah otak nggak ada, akhlak nggak ada juga. Paket lengkap emang lo, Ram," kesal Awan sembari menekan kunci kode pintunya. Begitu pintu itu terbuka, Ramli langsung mendorong Awan dan berlari ke kulkas.

Ini sahabat kalau dijual pasti tidak akan pernah laku. Jangankan dijual. Tukar tambah pun mana ada yang mau?

"Perkara apa, sih, tadi?" Wiki penasaran. "Sampai mau dibotakin segala."

"Biasa lah, temperamen dia kan selalu gitu. Tinggi mulu. Senggol dikit auto bacok," jawab Awan sembari melempar tubuh ke sofa ruang tamunya. Ketika Nugie ikut melompat ke arahnya, Awan refleks menendang pantatnya. Nugie seketika tersungkur di depannya.

"Heh! Ngajak gelud, ya?!" Nugie melotot kesal.

"Eyes-nya dipakai, Bung. Udah ada penumpangnya. Kursi sebelah, kek," gemas Awan.

"Ya ngomong baik-baik kan, bisa," sungut Nugie.

"Mana sempat? Keburu pangku-pangkuan. Sekalian gue ninaboboin mau? Sambil dikasih dot baygon," ucap Awan asal.

Marriage For Sale (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang