Bab 9 - Kencan dan Strategi Perang

3.1K 358 51
                                    

Kencan dan Strategi Perang

Adel menjentikkan jari di depan wajah Awan, menuntut perhatiannya. Sejak mereka tiba di kafe ini tadi, pria itu terus saja melamun. Kali ini, Adel membawa mereka ke kafe yang bukan miliknya. Setelah Adel menjentikkan jarinya sebanyak tiga kali, Awan tersentak kecil, tersadar.

"Ha? Apa?" tanyanya pada Adel.

"Kamu dari tadi nggak dengerin aku ngomong apa?" Adel menyipitkan mata.

Awan berdehem. "Sori, aku dari kemarin kepikiran tentang kakekmu."

Adel mendengus sebal. "Aku keluar dan nemuin kamu di hari liburku bukan buat disia-siain kayak gini, ngerti? Jadi, fokus! Aku lagi ngejelasin apa yang harus kamu lakuin kalau kamu ketemu kakek dan sepupu-sepupuku."

Awan mengangguk. Ia akhirnya menatap ke layar i-Pad di meja. Adel kembali menjelaskan satu demi satu gambar di sana.

"Ini kakekku. Dia ngomong apa pun, abaiin aja. Cukup kamu senyum dan sok manis kayak di depan orang tuaku kemarin," sebut Adel. "Kalau kamu berhadapan sama sepupuku, abaiin aja mereka. Mereka nggak penting. Kalau mereka bersikap kasar ke kamu, abaiin aja. Bahkan meski mereka berusaha bersikap ramah ke kamu, abaiin aja. Mereka nggak pernah benar-benar ramah ke orang. Terutama kamu atau aku. Mereka selalu anggap aku saingan dan pengen nyingkirin aku."

Awan menghela napas berat. "Ternyata, hidup jadi kamu nggak mudah juga," ucap pria itu, entah dia sadar atau tidak mengucapkannya.

Adel memutuskan untuk tak menanggapinya dan melanjutkan menyampaikan informasi tentang kakek dan sepupu-sepupunya. Kali ini, Awan memperhatikan dengan serius. Dalam satu setengah jam, mereka selesai dengan semua penjelasan itu dan Awan tampaknya menghafal dengan cepat apa yang Adel sampaikan tadi.

Setelah mereka selesai, Adel teringat tentang kepindahan Awan hari ini. "Kamu udah pindah ke apartemen?" tanyanya.

Awan menggeleng. "Nanti sore. Teman-temanku mau bantuin."

"Emangnya, apa aja yang mau kamu bawa dari kos kumuh itu?" tanya Adel.

Awan menggaruk kepalanya. "Nggak ada, sih. Tapi, aku udah tinggal di sana selama tiga tahun terakhir. Mau ada ritual perpisahan dulu sama teman-temanku. Tapi, hari ini Ramli ada acara, jadi kita nunggu acaranya Ramli kelar nanti sore."

Adel manggut-manggut. "Oke, berarti kita udah selesai di sini. Kamu nggak ada acara, kan? Ayo pergi belanja."

Awan mengerutkan kening. "Belanja apa?"

"Piring, beberapa peralatan dapur, Siska bilang barang-barang itu belum ada di apartemenmu. Toaster, microwave, dan sebagainya juga belum ada. Cuma ada kompor di sana. Kulkasmu juga kosong. Barang-barangnya nanti kamu pilih aja, biar nanti Siska yang antarin ke apartemenmu. Trus, kita belanja stok makanan aja," urai Adel.

"Kamu ... mau nemenin aku belanja?" Awan terdengar bingung.

Adel mengerutkan kening. "Kenapa? Kan, nanti aku juga yang bayar semua belanjaanmu."

"Aku bisa pakai uangku sendiri ..."

"Kamu mau habisin uangmu buat barang-barang kayak gitu dan kelaparan, trus ngemis-ngemis makanan lagi di luar sana?" sinis Adel.

Awan mengernyit. "Aku nggak bakal ngelakuin itu lagi."

"Lagian, uangmu kan udah habis. Siska bilang, rekeningmu udah kosong lagi. Kamu pakai apa uang sebanyak itu dalam beberapa hari?"

"Kamu ... dari mana kamu tahu isi rekeningku?" protes Awan. "Lagian, aku masih punya uang cash, kok!"

Adel mengibaskan tangan. "Ayo pergi dan belanja. Hemat uangmu sampai kita nikah. Aku baru akan ngasih kamu uang bulanan begitu kita nikah, sesuai kontrak. Dan kita belum tahu itu kapan."

Marriage For Sale (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang