Seoul.

597 101 5
                                    

... .

Jungkook meremas tas ransel merah mudanya. Itu pemberian kakak tercinta yang tengah dibawa kendaraan rumah sakit di depan mereka. Jimin mengemudi dengan Namjoon di sampingnya. Sesekali, pria berlesung pipi itu menegur dan berbalik ke arah kursi belakang, sekadar menenangkan Jungkook yang gugup. Sekitar dua jam dilalui sampai akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Jungkook tak merasa ngantuk atau semacamnya, perasaannya was-was karena setelah sekian lama, ia ke Seoul lagi. Kota tempat terakhir ayahnya hidup.

Begitu kendaraan Namjoon berhenti, Jungkook mengenakan ranselnya dan bergegas menyusul pria jangkung itu keluar. Setuju berada di dekatnya alih-alih tetap bisa melihat ranjang berjalan yang dikeluarkan dari ambulans dengan Seokjin di atasnya, digerek masuk tanpa mengganggu jalan. Jungkook pun entah sadar atau tidak, tengah menggenggam erat tangan besar Namjoon di sepanjang lorong menuju ruang perawatan. Suara berat dan gosokan pelan ibu jari di punggung tangan Jungkook, sangat membantu meredakan rasa gelisah anak itu. Jadi, Namjoon juga tak melepasnya.

Begitu tiba di ruangan lantai delapan, Seokjin dibaringkan. Kamar itu untuk satu penghuni. Jungkook hanya sekilas melihat interiornya yang mewah sebelum menghampiri Seokjin. Namjoon membiarkannya, dan tak lama seseorang masuk bersama Jimin.

"Kak Yoongi." Namjoon diberi anggukan dengan lengannya diremas pelan. "Terima kasih sudah menerimaku sepagi ini."

"Tentu. Mana bisa aku menolak jika sekretarismu merecokiku terus?" tanggap dokter muda itu sembari mengeluarkan stetoskopnya. Jimin menggaruk telinga atas tatapan geli Namjoon. "Ayah benar soal dirimu yang suka tiba-tiba. Jangan karena aku yang sekarang bertugas menggantikan urusan kesehatanmu, jadwalku bisa dirombak seenaknya, ya. Anggap kau sedang beruntung."

Namjoon mengedik, ikut ke sebelah dokter itu ke ranjang Seokjin. "Baiklah. Maafkan aku. Ini penting soalnya."

Dengan penuh khidmat, Yoongi memeriksa keadaan Seokjin yang bergeming. Jungkook menjawab sigap semua pertanyaan yang terlontar. Semua perhatian tertuju hanya pada kegiatan Yoongi yang mendengarkan detak jantung Seokjin atau ke setiap jemarinya yang memeriksa.

Namjoon memang sengaja menggunakan wewenangnya untuk membuat janji khusus dengan dokter itu. Hanya nol koma satu persen saja, tidak lebih. Makanya, Seokjin langsung dapat kamar perawatan. VVIP pula, tanpa melewati ruang gawat darurat karena dokternya sendiri yang datang memeriksa. Namun, sebetulnya kebetulan juga jadwal Min Yoongi tidak ketat hari itu. Jadi, sementara para perawat dan asisten sibuk mengelilingi Seokjin, para pengantar dan keluarga diminta menunggu di luar.

Perasaan Namjoon sama gundahnya dengan Jungkook, tapi melihat yang lebih muda hanya diam tanpa melepas pandangan dari pintu kamar Seokjin yang tertutup, Namjoon lebih bisa mengendalikan diri. Bakatnya ia tutup, karena tempat itu sering membuatnya sakit kepala dengan para jiwa penasaran yang sesekali terdengar teriakannya tanpa diduga. Walau ingin menegur Seokjin, Namjoon cukup bersabar untuk menunggu saja seperti Jungkook.

"Tenanglah, Jungkook-ah. Dokter Min akan melakukan yang terbaik sampai kakakmu bangun dan makan bungeoppang bersamamu lagi. Ya?" Namjoon meremas tautan jemari mereka. Jungkook berpaling menatapnya, mengangguk patuh.

"Apa kau lapar?"

"Tidak, kak Namjoon. Terima kasih."

"Baiklah," balasnya, berpaling ke arah Jimin dan bergumam. Lalu, kembali menegur Jungkook sementara Jimin menuju lift, meninggalkan mereka menuju parkiran. "Nanti, kita pergi ke apartemenku dulu untuk menaruh barang-barangnya. Sekalian melihat kamarmu. Untung sekali sekolah sedang libur, jadi kau bisa ikut kemari sepenuhnya. Kamarmu sudah kusiapkan, jadi ...."

"Tapi, kakak akan sendirian di sini. Tidak apa, aku bisa tinggal bersamanya."

"Mana bisa? Tidurmu bakal tidak nyenyak."

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang