Visit.

682 108 28
                                    

... .

Niat bertanya soal ayahnya, terlupakan karena Jungkook sibuk membujuk cenderung memaksa agar Namjoon ikut berdoa melalui menara batu untuk mendiang Taehyung.

Aku tak percaya sesuatu semacam itu.

Lakukan saja. Aku yakin kak Taehyung mendengarkan. Mungkin dia ada di sini.

Aku ....

Bersamaku, kak. Ayo.

Namjoon menangkupkan tangan di sebelah Jungkook, tapi tidak mengatakan apa pun dalam hati seperti maksud Jungkook. Namjoon itu bisa melihat 'mereka' jika mau, dan jangan salah, ia berharap dapat bertemu sekadar melihat Taehyung, tapi tak sekali pun adiknya mau memperlihatkan diri. Namjoon yang hanya percaya pada hal-hal yang perlu dipercaya, semakin skeptis.

Kalau para dewa?

Jungkook-ah, aku hanya percaya pada yang bisa kulihat. Jadi, tidak. Sesuatu seperti itu tak bisa kuyakini.

Kak Namjoon aneh. Lalu, bagaimana bisa tahu panggilan kecilku?

Insting. Menurutku akan lucu jika dipanggil demikian, bukan?

Jungkook melipat lengan di dada menanggapi silat lidah Namjoon. Sampai pada akhirnya Jimin mendatangi lokasi mereka dan bersama kembali ke kedai. Permintaan Namjoon untuk mengantar, tak berjalan lancar karena bibi Jungkook menolak halus. Ada suaminya nanti yang menjemput mereka. Jadi, dengan sopan Namjoon juga Jimin berpamitan pulang.

Saat di rumah, Namjoon baru sadar ia lupa mengemukakan kejadian ketika di Seoul dulu pada Jungkook atau Seokjin. Si permujudan pucat yang cantik itu menolak hadir lagi setelah memukul perut Namjoon karena hampir kelepasan. Namjoon menggeleng tersenyum jika ingat lagi.

.

Jimin sudah dengan laptop dan berkas-berkas di dekatnya saat Namjoon baru selesai mandi. Pengurus penginapan membawakan mereka bungeoppang panas dan teh hijau sebagai cemilan sembari menunggu sarapan siap. Kebetulan sedang hari libur, jadi kunjungan ke kantor pemasaran atau pabrik cukup dilakukan sebentar saja. Nanti setelah sarapan, mereka akan pergi.

"Aku kepikiran, gelang yang melingkar di tangan Jungkook itu, milik Tae, 'kan?" tegur Jimin begitu Namjoon terduduk dengan menyeruput tehnya, yang diajak bicara mengangguk. "Sudah bisa rela melepasnya pergi? Kau sangat menyayangi anak itu, ya, kak."

Namjoon menyisir ke belakang, helai rambut panjangnya agar tak menghalangi pengelihatan. Masih setengah kering ternyata. "Aku bisa melihat Taehyung hidup jika bersamanya. Jadi, kurasa gelang itu pantas untuknya. Aku masih bisa mengenang Taehyung tanpa itu." Jimin berpaling, Namjoon mengetuk pelipis dan dadanya sejenak. "Takkan ke mana-mana. Aku bahkan tak perlu obat lagi. Dalam hal positif. Jangan khawatir. Sekarang aku punya penyembuh yang lebih mujarap."

Jimin meraih tehnya. "Apa itu?"

Namjoon menggigit kue mirip waffle dengan bentuk ikan isi kacang merah itu, lesung pipinya terlihat. "Seokjin."

Jimin mengernyit. "Siapa?"

Namjoon menyandarkan punggung. Ia hanya mengenakan celana sepaha dan kaus, jadi saat menekuk kaki supaya nyaman, otot paha yang mengedut tegas itu naluriah membuat Jimin melirik ke sana. Untung Jimin sudah punya tambatan hati, jadi sosok Namjoon yang menguarkan ketampanan gagah itu tak menarik minatnya. Hanya kagum saja. Siapa yang tidak?

"Ingat saat aku menghilang dua hari setelah seminggu berlalu dari pemakaman Taehyung?" Jimin mengangguk. "Aku nyaris ditabrak kalau tak diselamatkan seorang pria. Paman Jeon, aku hanya ingat itu, dan anaknya yang ketus, Seokjin. Mereka berasal dari pulau Geoje. Aku pernah mencoba mencari mereka lagi, tapi ayah jatuh sakit dan aku jadi sangat sibuk bolak-balik London - Seoul dan sebaliknya untuk menggantikannya. Sampai ketika kuberanikan diri ke pulau ini. Baru tiga hari, aku bertemu Jungkook. Jujur, aku hanya langsung menghampirinya karena berhalusinasi lagi, tapi siapa sangka kalau kami memang harusnya bertemu? Anak itu juga bermarga Jeon."

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang