The truth.

500 82 9
                                    

... .

Akibat pening yang kambuh, Seokjin perlahan berhenti berlari. Padahal tinggal sedikit lagi menginjak pesisir pantai bebatuan, tapi mau bagaimana? Kode tubuhnya tak bisa ditolerir. Karena sebenarnya sedari rumah, rasa menyebalkan itu mengambil alih. Menjadikan suasana hati Seokjin kian buruk. Dan, melihat pria jangkung di depan yang sama kelelahan membelakanginya dengan merunduk ambil napas sejenak, rasa panas naik ke ubun-ubun Seokjin. Dengan langkah konstan ia mendekat.

"Baiklah. Kita bisa berjalan pelan dari sini. Hakdong sudah tinggal ...."

"Kim Namjoon." Seokjin sontak melayangkan kepalan tangan kuat-kuat begitu empunya nama berpaling sampai dibuat terhuyung-huyung. "Itu untuk kelakuan seenak jidatmu yang terlalu dekat denganku."

Namjoon merasakan rahangnya nyeri luar biasa. Pandangannya sampai buram sesaat. Ia berpaling tak percaya, tapi lalu kembali ditinju. Membuatnya terhuyung mundur nyaris jatuh.

"Itu untuk ide bejatmu yang melibatkan adik juga paman dan bibiku dalam kebohongan busuk selama ini." Seokjin menelan ludah. Sakit kepalanya perlahan mencakar dan emosi yang merongrong dalam dadanya sudah tak sanggup lagi disalurkan dengan teriak atau murka berlebihan, tapi ia ingin sekali melayangkan bogem mentah. Entah kenapa.

Namjoon mengibas kepalanya guna menyingkirkan rasa berdenyut di wajah. Ia merentangkan tangan seolah mencari pegangan, tapi tak kunjung didapatkan. "Seokjin-ah ... bisa kujelaskan ...."

"Apanya? Jungkook sudah mengatakan semuanya, bahkan sangat membelamu. Racun apa yang sudah kau gunakan padanya, Kim Namjoon?"

Namjoon memperoleh pandangannya dengan jelas kembali. Seokjin di depan sana berdiri miring ke satu sisi, tampak sangat jengah. Oh, tidak.

"Bukan. Iya. Aku yang salah, tapi—"

"Aku memang lupa, tapi tidak bodoh. Bahkan sudah kurasakan sejak di rumah sakit. Gimbab buatan ibuku tidak pernah sehambar itu walau diyakinkan Jungkook sekalipun, tapi aku diam menunggu. Nyatanya, firasatku makin kuat karena tak kunjung mereka pulang atau bertanya kabar tentangku, anak mereka. Asal kau tahu, adikku adalah manusia paling payah soal berbohong. Tiap kali kuminta hubungi mereka, teleponnya selalu ditolak dan kata adikku mereka terlalu sibuk. Yang benar saja. Seramai apa pun kedai ayahku, mereka takkan lupa menghubungiku dan Jungkook. Lalu, kau, yang tahu dan sangat sadar kalau semua itu palsu, berdiri dengan jumawa di depanku."

"Seokjin-ah, semua terpaksa dilakukan untuk—"

"Alasan kesehatan?"

"Iya. Kami terlalu khawatir dengan kondisimu yang mungkin akan semakin parah atau kembali kritis jika tahu sebenarnya orang tua kalian sudah tiada. Kau terbangun dengan kesadaran mereka masih ada, ingat?"

Seokjin mengangguk bukan untuk menjawab. Bibir ditipiskan, lalu berpaling ke arah pesisir Hakdong yang hanya sejauh mata memandang jauhnya. Tangan yang gemetar menahan dingin juga sakit kepala, dimasukkan ke kantung hoodie di bagian perutnya.

Namjoon beranikan diri berjalan mendekat. "Betapa bahagianya Jungkook saat melihatmu bangun adalah yang ingin kuwujudkan sejak aku mengenalnya lebih jauh. Juga dirimu. Memikirkan akan langsung mengatakan jika yang kamu ingat adalah kenangan lama dengan risikonya kondisimu memburuk, bukan pilihan tepat saat itu. Aku ...."

"Membuat kebohongan dengan dalih demi kebaikanku, pada akhirnya?" potong Seokjin yang kembali menatap Namjoon. Mata bulat di sana berkaca-kaca. Seketika membuat Namjoon berhenti di tempat. Ada larangan tak tertulis dari pandangan kecewa itu. "Pikirmu keadaanku akan baik-baik saja sekarang setelah tahu semua ini? Iya?"

Namjoon merasakan lehernya tercekat. Suara merdu itu tak lagi tertawa rendah seperti biasa. Tawanya kini terdengar sumbang dan terluka.

"Sekali lagi. Aku memang lupa bagaimana dulu cara kita bertemu, tapi tubuhku ini ... mulai ingat kenapa rasanya begitu marah tiap melihatmu dan pukulan tadi terasa luar biasa, kau tahu?"

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang