Come back home.

598 84 19
                                    

... .

Hanya perlu dua hari sampai Seokjin bisa kembali pulih. Kaki yang lama tidak dipakai, sudah bisa menopang dan bekerja sesuai fungsinya dari terapi rutin yang dijalani. Kebanyakan memang Jungkook yang membantu dan mendampingi selama di rumah sakit, tapi tidak sekali dua kali pula, Namjoon ikut ada di sana. Bahkan, seperti film romantis jaman dulu kala, ketika Seokjin memaksakan diri berjalan tanpa dipapah dan akhirnya tak sengaja hilang keseimbangan karena terlalu cepat berbalik, Namjoon sigap berlari untuk merengkuhnya agar tidak jatuh. Baiklah. Memang terjadi seperti itu, mereka saling tatap dalam jarak dekat, lalu dengan kikuk tersadar keadaan.

Selama dirawat, Namjoon suka datang di saat tidak terduga. Alasannya beragam karena Seokjin dengan bijak dan mengerti, jika Namjoon bukan pengangguran dan tidak seharusnya melulu berada di sana sebagai penjenguk. Walau memang bisa jadi teman berbincang yang menyenangkan selagi membiarkan Jungkook tertidur.

Pembawaan Seokjin yang tenang bersahaja, seperti mimpi di mata Namjoon. Berbeda sekali ketika dulu saat mereka pertama bertemu. Sampai ia sadar dan mulai ragu, apakah akan sama reaksinya jika Seokjin sampai tahu kenangan yang sebenarnya?

Dan, seolah menjawab pikiran Namjoon, Seokjin berujar sembari menerawang ke jendela. Menatap taburan cahaya di luar sana dari gemerlapnya malam kota Seoul yang serba cepat.

"Apa pun yang sudah terjadi, kurasa ada hikmahnya. Senyum Jungkook adalah segalanya bagiku. Aku harus lebih kuat untuk selalu bersamanya, bukan? Ayah ibu, sudah cukup sibuk menghidupi kami. Kurasa, tidak baik menambah beban pikiran mereka dengan keadaan, walau sejujurnya aku sangat rindu bertemu." Seokjin berpaling, Namjoon setia duduk di dekatnya dari dua jam lalu. "Apa bisa aku minta tolong, Namjoon-ssi?"

"Apa itu?"

Seokjin meremas tautan jemarinya di pangkuan. "Aku ingin gimbab telur buatan ibu. Karena tak bisa keluar, apa bisa dapatkan itu untukku?"

Namjoon menegang, tapi segera ia tepis dengan senyuman. "Tentu saja. Mau pesan apalagi?"

"Hanya itu. Terima kasih, Namjoon-ssi."

"Baiklah. Aku takkan lama, tapi istirahatlah jika lelah." Namjoon beranjak meraih coat maroonnya, Seokjin mengikuti dengan mata di setiap gerakan. "Jangan sampai karena menungguku ...."

"Aku ingin mendengar kisah Pemuja Bulan lagi. Jadi, pasti kutunggu."

Namjoon bergerak lambat menyisir kerah coatnya. Seokjin begitu polos menerima kisah rajutan Taehyung itu seperti pengantar tidur yang diakhiri acara tanya jawab antar mereka. Seperti kawan lama.

Namun, ada yang menjerat leher Namjoon jika diingatkan situasi dan kondisi.

Benar. Apa rutinitas yang mulai menjadikan Namjoon tambah jatuh pada Seokjin itu, walau hanya sekadar bercakap biasa, akan tetap mereka lakukan sampai entah kapan? Bahkan, saat kesadaran Seokjin benar-benar kembali dan ingat semua yang terlupakan? Akankah kesungguhan emosi saat mereka bersama, dipercaya Seokjin seperti Namjoon yang merekamnya dengan jelas dalam lubuk hatinya hari demi hari?

"Baiklah, Seokjin-ah. Aku takkan lama kalau begitu. Kamu harus beristirahat segera. Aku pamit sebentar."

Seokjin mengangguk. "Berhati-hatilah di jalan."

Namjoon pun berlalu dengan senyum yang mengantar. Begitu di luar, ia segera menelepon Jimin, juga bertanya pada paman Seokjin atau bibinya. Sekadar bertanya ciri-ciri gimbab buatan ibu Seokjin seperti apa agar bisa dibuat ulang dan kebohongan mereka tidak dicium semakin keras. Menghalau keheranan Seokjin yang selalu bertanya mengapa orang tuanya tak kunjung datang menjenguk, sudah cukup sulit bahkan dengan pengalihan dari Jungkook.

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang