Asking permission.

648 97 6
                                    

... .

Namjoon tengah meniti langkah menuju ruangan direktur. Setiap karyawan yang dilewati membungkuk hormat padanya, sekadar menyapa formal. Sesekali ia mengedikkan dagu, mengangkat tangan, senyum simpul, atau juga sibuk menatap lantai dengan serius, sampai yang menegur pun rela tidak dibalas. Tampang pemuda jangkung itu seperti hendak memvonis orang untuk dihukum mati.

Padahal, Namjoon hanya mereka ulang percakapannya dengan Yoongi dalam kepala. Tak menyangka jika pernyataan serius dokter itu ternyata skeptis. Hanya ingin tahu seberapa signifikan efek kalimat diagnosa awal dari setelah memeriksa Seokjin. Yoongi cukup mendengar ucapan Namjoon yang bakal tidak lagi mudah menyerah dengan keadaan, walau mungkin akan sangat mengerikan. Namjoon sudah berjanji pada Taehyung untuk hidup untuknya, walau tetap bersikeras meminta bantuan Yoongi untuk menggugah Seokjin agar terbangun lagi.

Murni karena itu? Aku rasa tidak.

Makanya, bantu aku. Bantu Seokjin. Bukan hanya satu orang di sini yang tertolong nantinya.

Tentu, Namjoon-ah. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Oh, astaga. Aku bingung harus merasa apa. Lihat wajahmu itu? Hampir bisa aku terpingkal tadi.

Leluconmu buruk, kak. Waktunya tidak tepat. Sumpah.

Yoongi memberinya tawa sumbang sambil meremas bahu lalu pergi. Mengatakan akan melakukan tes darah dan segala macam yang diperlukan sebelum mulai penanganan yang tepat. Sama sekali masih membuahkan jawaban mengambang untuk Namjoon. Namun, untung saja pemikiran soal kerjaan berhasil mengalihkan perhatian. Jadi, selama menjabarkan semua laporan dan hasil dari pengamatan langsung ke pabrik Geoje, Namjoon fokus. Ia bisa menyimpan emosi dengan baik tanpa mengganggu hal lain.

Sampai, ketika selesai, pak direktur yang meminta peserta rapat lain undur diri dan hanya menyisahkan Namjoon, mengangkat topik itu. Mereka duduk saling berhadapan, sejauh dua meter terbentang jarak meja marmer persegi panjang besar. Ruangan masih sejuk, layar proyektor pun tetap berfungsi dengan tampilan grafik bergeming. Aroma pengharum ruangan yang kali ini semerbak vanila, tak mengurungkan keadaan gamang di antara dua pria di sana.

"Kudengar ada yang masuk rumah sakit. Jika bukan dirimu, dan syukurlah karena kau baik-baik saja di hadapanku begini, lalu siapa? Aku boleh tahu teman barumu itu, 'kan?"

Namjoon merasakan dengan jemari, bentuk pena di genggaman juga melebarkan kaki di bawah meja untuk merilekskan diri. Mata beralih menatap sosok yang bertanya, persis seperti melihat bayangan sendiri, tapi semburat kelabu cenderung memutih di rambut itu asli. Bukan hasil cat seperti punya Namjoon yang menggelap.

"Atau, mungkin aku bisa menjenguknya juga. Karena kupikir, mungkin kau bakal betah di Geoje tanpa mau pulang ke mari kalau tidak membawa orang itu untuk berobat. Bukan begitu, nak?"

Namjoon menghela, mengistirahatkan punggung sambil membuka kancing kemeja paling atas yang serasa mencekik.

"Jimin cerita apa saja? Pernah bilang aku minta kapal buatan baru dites menabrak Hageumgang tidak?"

Lelaki itu tertawa. "Aku ini merindukanmu, tahu. Ketus sekali, tapi boleh juga. Kalau terbukti kuat, nilai jual bakal naik, bukan? Ya. Idemu bagus."

Namjoon terkekeh. "Makan siang? Aku lapar. Kebetulan ada yang ingin kubahas. Bukankah sudah lama tidak saling tukar pikiran sambil makan jjangmyeon? Ayah yang traktir. Aku baru pulang."

"Oke, baiklah. Walau penyambutannya dipaksa. Apa yang tidak untuk anak emas ini?"

.

Restoran tradisional itu sering dikunjungi. Langganan malah. Kabarnya, grup penyanyi idola ternama yang sedang mendunia saat ini, pernah ke sana dan menjadikannya tempat makan favorit. Terbukti dari banyaknya poster dan foto yang tertempel menghiasi hampir menutup sela ruang seisi resto kecil itu. Biasanya ramai, tapi untunglah saat Namjoon dan ayahnya mampir, pelanggan tidak terlalu banyak. Jadi, percakapan mereka bisa berlangsung dengan kidmat.

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang