Listen mine!

701 85 30
                                    

... .

Seokjin dibuat tak bisa tidur dengan pengakuan Namjoon. Ditambah pendapat cerdas Jungkook yang memang pernah bertemu Taehyung dan minta bantuannya dalam mimpi. Yang harusnya anak itu heran dan berada dalam satu pemikiran dengan Seokjin, malah menanggapinya biasa saja.

"Kak Namjoon memang begitu. Penuh kejutan. Sudah tidak heran lagi. Justru aku senang. Bayangkan jika memang tidak bisa melihat kala itu? Kakak pasti masih tidur sekarang. Ambil positifnya saja, kak. Ibu selalu bilang, 'kan?"

"Iya, tapi ...."

"Yang penting, kak Namjoon sudah jujur. Paman Kim juga menyambut seperti ayah sendiri. Jika hanya ada senyuman di wajah kakak tiap berada bersama mereka, aku tak ragu lagi. Mereka orang-orang baik yang dikirimkan dewa pada kita. Bagiku, cukup dengan melihatmu di sisiku begini. Yang lain seperti bonus tangsuyuk berlimpah. Pokoknya buat bahagia. Iya, 'kan?"

Seokjin menghela. Dia pun sama. Kalau melihat Jungkook sebegitu bahagia saat bersama Namjoon atau Daeyoung, dia tentu ikut merasa demikian. Yang terpenting baginya juga hanya senyum cerah Jungkook.

"Kalau memang perasaanku belum berbalas, tidak apa-apa. Aku cukup puas dengan sudah mengaku dan memberi yang kurasakan. Semua hal juga tak selalu harus dimiliki. Melihatmu bahagia dan sehat sudah segalanya untuk kusyukuri."

Teringat lagi kalimat hangat Namjoon sebelum ia berpamitan, tak membuat Seokjin tenang. Ia bangkit dari ranjang guna meneguk segelas air. Selain was-was karena belum menjawab apa-apa atas pengungkapan serius Namjoon, Seokjin sadar jika tak lama lagi, Namjoon bakal sangat sibuk. Tahu dari Daeyoung, tampuk kepemimpinan perusahaan produksi perkapalan yang besar itu akan berpindah ke mereka yang lebih muda. Seokjin tak tahu siapa satu orang yang tak disebut Daeyoung, tapi yang pasti salah satunya adalah Namjoon.

"Besok, sebelum pulang ke Seoul aku mampir ke kedai dulu. Jimin ulang tahun dan ia ingin gimbab juga sup kerang bibimu yang khas. Sekalian juga ke Hakdong. Rasanya lama sekali tidak ke sana."

"Kenapa beri tahu aku? Datang saja. Aku bukan pemilik pantai itu atau kedai bibi. Kau aneh."

"Siapa tahu, kamu kaget lagi."

"Sebenarnya kau kesal, 'kan karena kusembur tadi?"

"Tidak. Sungguh, Seokjin-ah."

Seokjin menampar keningnya lagi jika ingat kalimat pedas yang keluar dari mulutnya, dan justru dibalas tawa ramah. Niat hati bertanya kenapa Namjoon tampak seolah mengucapkan perpisahan, tapi malah melontarkan kata-kata dingin.

Percayalah. Seokjin berusaha mengendalikan diri, tapi rasa yang ditimbulkan oleh sepasang mata cokelat itu mengacaukan segalanya. Seokjin belum tahu harus menjawab apa!

Menenggak kasar dua kali isi gelasnya, Seokjin memijat pelipis. Ia kemudian terdiam begitu menatap altar kecil mendiang orang tuanya. Ingat sosok Namjoon yang berdoa penuh khidmat, setelah memandang diam selama beberapa menit. Entah mengatakan apa dalam kepalanya.

Ya. Jika dipikir lagi. Kalau memang Namjoon tidak serius dan hanya menuntut pembalasan untuk masa lalu, sikapnya takkan sehangat itu. Bahkan, ayahnya. Benar-benar seolah sudah menerima Seokjin juga Jungkook sebagai bagian darinya.

Mendekati altar, Seokjin berlutut sopan. Menengadah. "Ayah. Ibu. Apa yang harus kulakukan? Tiap kali bersamanya, aku bingung dan was-was. Namun begitu terpisah, aku tidak berhenti memikirkannya. Lihat sendiri bukan? Ayahnya bahkan begitu hangat menyambutku. Jungkook juga sangat bahagia seperti saat ada dirimu, yah. Apa ... aku memang harus menerima?" Namun, tentu saja keheningan menjawab Seokjin. Ia meremas lutut. Lalu, kembali berucap, lebih pelan kali ini. "Benarkah aku pun merasa hal yang sama ... kalau kujawab tak mau kehilangan dirinya? Apa boleh kukatakan demikian?"

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang