Caught in a lie.

529 86 18
                                    

... .

Seokjin terkekeh begitu usai menutup pintu gerbang depan. Deru mobil Namjoon sudah menjauh sesaat lalu. Hari sudah gelap. Si tamu jangkung itu sampai repot ikut membantu masak untuk makan malam mereka, tapi tentu takkan terjadi lagi. Seokjin ngeri dan geli mengingat saat sisi tumpul pisau malah digunakan untuk memotong bawang daun dan sisi tajamnya mencuat pasti ke arah wajah Namjoon. Beruntung Seokjin cepat sadar dan segera meminta Namjoon duduk manis sampai makanan mereka siap. Bukan mau menolak niat baik, tapi jauh lebih baik lagi kalau Namjoon dibiarkan menunggui alat makan saja dari pada menerjukan diri ke dapur juga. Seokjin tetap menghargai niat anak konglomerat itu dengan memintanya mengatur meja makan.

Namun, Namjoon menolak diam. Sepanjang Seokjin dan Jungkook menyiapkan hidangan, puji dan seruan kagum terlontar. Mata yang nampak tajam itu berubah antusias seperti bocah. Seokjin melihatnya dengan jelas. Apalagi, dengan potongan rambut cepak yang baru, tak dipungkiri jika sosoknyalah yang tampak memesona. Tampan. Matang.

Seokjin menggeleng. Astaga. Ia tak boleh sembarangan. Namjoon pantas dikagumi. Ya. Cukup di situ ....

Aku menyukaimu, Seokjin-ah. Sangat, sangat suka.

Seokjin berhenti melangkah. Napasnya tertarik sekaligus tangan yang menangkap pipi. Pernyataan lugas yang sangat jelas di depan mata itu harus disikapi apa? Sedari tadi ia menolak bertatapan mata terlalu lama saking malunya ingat kejadian saling tumpuk itu. Lalu, lain kali bagaimana? Ah! Lesung pipi, sialan! Jantungnya jadi berdebar tak keruan pula! Aduh!

Namun, suara ketukan di gerbang kemudian, menyela Seokjin yang seru menampar pipi seolah butuh sadar. Mengernyit penasaran, siapa gerangan yang datang selepas jam delapan? Bibi? Tidak mungkin. Mereka sedang sibuk di Hakdong. Lalu, apa ... ya, ampun. Jangan-jangan Namjoon ketinggalan sesuatu.

Seokjin mendadak panik. Ia butuh menarik dan mengembuskan napas sejenak sebelum membuka gerbang. Begitu dibuka, rasa was-wasnya tadi menguap.

"Seokjin-ah? Oh, astaga, ini benar dirimu. Ya, Tuhan. Kupikir sudah tak ada kesempatan bertemu," katanya, lalu segera merengkuh. "Apa kau baik-baik saja?"

Seokjin bergeming berusaha mencerna pelukan dan sapaan hangat yang tiba-tiba.

Di dalam, telepon rumah Jungkook berdering tak sabar. Empunya menyeka tangan basah terburu-buru sembari menggerutu, sampai kemudian meraih alat komunikasi berwarna putih itu.

"Ha ...."

"Jungkook-ie? Astaga. Mana kakakmu?"

Jungkook mengernyit, itu bibinya. "Ada. Kenapa, bi?"

"Di mana, nak?" tuntut suara di seberang dengan tergesa.

Ada apa, sih? Jungkook berpaling ke arah luar. "Lagi mengantar kak Namjoon pulang. Tadi, dia ada bersama kami. Memangnya, kenapa, bi? Terjadi sesuatu di kedai? Perlu—"

"Cepat susul! Apa Dongsub sudah datang? Oh, ya, ampun. Jungkook-ie. Segera keluar sekarang. Gawat jika ia bertemu kakakmu."

Jungkook meremas gagang telepon. Seketika was-was. "Gawat? Gawat bagaimana, bi?"

"Tadi dia datang ke kedai menanyakan kabar kalian. Aku terlalu fokus melayani pengunjung sampai lupa memberitahunya untuk menjaga omongan jika bertemu kakakmu. Aduh! Ya-yang pasti, cepat ke pintu sana, nak. Sekarang!"

Jungkook menjawab sopan lalu menutup telepon. Ia berderap keluar, tapi tergelincir dan nyaris bertabrakan dengan kakaknya.

"Kook-ie! Astaga! Kenapa lari-lari? Ada apa?" Seokjin menarik lengannya berdiri seraya memeriksa tubuh yang tersungkur, tapi sebuah bingkisan menarik perhatian adiknya. "Hei ...."

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang