The Moon.

1.1K 125 7
                                    

... .

Namjoon tengadah, kedua manik mata itu membiaskan benda langit yang benderang, membuatnya seolah-olah memiliki pendar yang sama.

"Aku baik-baik saja, Jimin-ah."

"Katakan itu sepuluh kali, aku masih belum percaya. Ayo, kita pergi makan sup kerang pedas. Siapa tahu kau jadi lebih semangat setelahnya." Pemuda seumur adiknya itu, mengenakan sweter kelabu gambar pisang di bagian perut sembari berkeliling sibuk. "Pakai coatmu juga. Di luar dingin sekali. Aku tak habis pikir kau pergi ke Hakdong dengan kemeja selembar saja kemarin. Beruntung tak sampai demam. Kalau aku sudah di sini, tidak apa-apa, ini baru sampai kau sudah migrain. Astaga, kak. Bagaimana jadinya jika setahun kau di sini tanpaku?"

Namjoon terkekeh saat pemuda semampai itu mengalungkan coat marun kesukaan. Hadiah Taehyung di ulang tahunnya dua tahun lalu. "Aku saja yang pergi. Kau harus istirahat." Jimin berkacak pinggang begitu Namjoon berpaling.

"Perjalananku cuma sejam dari Gimhae. Seharian aku pun dilarang ikut campur dirapat dewan. Jadi, ya. Aku cukup kuat untuk pergi jalan-jalan dan sangat yakin bisa menemanimu atau sekalian menggantikanmu menelaah data pelaporan peralatan kapal yang masih gamang itu. Ayahmu khusus memintaku datang sekalian mengawasimu. Tahu, 'kan, kak?"

Namjoon mengerang malas ke langit-langit. Berjalan ke arah jendela yang masih dibiarkan terbuka. "Sudah kuselesaikan. Hanya butuh ditelisik ulang dan pastinya tidak makan waktu lama. Tinggallah di sini, Jimin-ah. Aku memaksa."

"Tidak. Kau harus ditemani, kak."

"Aku bukan bocah." Namjoon merogoh kantung, tidak menemukan gelang merahnya. "Tunggu aku pulang, ya? Mau makan apa lagi?" tanyanya pergi ke lemari kecil dekat pintu kamar. "Kalau tidak, makanlah hotteok yang di ...."

"Kutemani pokoknya!"

Namjoon berpaling segera. "Tidak, Jimin-ah."

Berjalan mendekat dengan bibir ditipiskan, kalimat Jimin tertelan lagi begitu Namjoon menatap lurus. "Kubilang, tidak." Intonasi yang kaku dan tegas, cukup membuat Jimin berhenti di tempat.

"Di luar dingin."

"Aku pakai coat, 'kan?"

"Sudah malam."

Namjoon mengantungi gelang merah dan menyambar kunci, menghela saat melewati Jimin. "Tenagaku masih cukup kuat untuk mematahkan leher orang walau tak makan seminggu. Tunggu di sini. Kau boleh duluan memeriksa laporan kalau bosan. Aku takkan lama."

"Tapi ...."

Namjoon menampar bilah pintu, hanya sebagian wajah yang ditelengkan. "Tapi, apa?"

"Hakdong pasti sepi dan dingin. Tak perlu mampir. Anak itu juga pasti ada di rumahnya. Langsung pulang jika sudah beli, ya? Malam ini purnama, jadi ...."

Namjoon menghela napas sekilas, lalu berpaling. "Aku tahu. Nanti kuhubungi kalau ada apa-apa. Oke?"

Jimin tersenyum. "Iya, kak. Aku akan menyusul jika panggilanku tak dijawab." Namjoon buka mulut. "Marahi saja, aku tak peduli. Itu lebih baik dari pada menemukanmu dalam keadaan kaku."

Namjoon melihat senyum di wajah Jimin, tapi kalimatnya terasa begitu gelap. Berdebat lagi, takkan menyelesaikan keadaan. Namjoon lebih ingin membiarkan angin pantai bebatuan itu menghapus panas di dadanya saat ini. "Aku tak semudah itu mati, Jimin-ah. Baiklah, tunggu di sini."

"Hati-hati, kak." Jimin mengantar ke pintu, masih tersenyum sampai punggung Namjoon menghilang, lalu seketika rona cerah itu sirna. Perjalanan yang ditempuh Namjoon pergi-pulang sekitar setengah jam sudah dengan makanan, jika lebih dari itu, ia akan menyusul. Bukan karena dibebani tanggung jawab dari tuan Kim, tapi karena dirinya tak mau kakak sahabat baiknya itu mendadak kambuh. "Kenapa harus ada Hakdong untuk dilewati?" Jimin memijat pelipisnya dan berpaling ke jendela yang terbuka. "Kenapa juga harus purnama? Oh, para dewa ... lindungilah ideologi kak Namjoon agar tetap kokoh. Hanya pendirian yang ia butuhkan. Kumohon."

.

Namjoon memijat pangkal hidung, tangan di setir memutar pelan. Aroma masakan di sebelahnya tak merubah raut terganggu yang sedari pasar malam tadi, terbentuk. Karena apa? Selama membeli, beberapa kali celetuk jenaka Taehyung menampar kesadaran. Entah itu yang protes karena satu buah gimbap kurang, sotteok yang tak begitu gurih, atau bahkan minta tambah kuah jjampong yang tengah dibungkus.

Demi apa, Taehyung bahkan tak ikut dengannya!

Namjoon kembali teringat percakapan ringan dan senyum cerah anak bernama Jungkook yang ditemuinya menjelang sore. Begitu naif dan jenaka. Namjoon bisa sampai melupakan pendiriannya yang kaku jika bersama anak itu. Persis ketika ia di dekat Taehyungnya.

Apa mungkin karena itu?

"Sial." Namjoon mengumpat tepat saat ponsel di saku berdering. Ia melirik pergelangan tangan, baru sekitar sepuluh menit ia berjalan pulang. Jimin sungguhan takut akan terjadi sesuatu padanya. Oh, ya, ampun.

Ponsel sudah menempel di telinga ketika dengan naluriah ekor mata menangkap sekelebat sosok putih di kejauhan. Tepat menjulang di antara kerikil bundar pesisir pantai Hakdong yang diterangi cahaya bulan. Namjoon merasakan jantungnya jatuh ke perut begitu sosok itu terlihat membenam dalam riak air konstan yang gelap. Tanpa pikir panjang, percakapan dengan Jimin diputus, lalu melempar ponselnya ke kursi sebelah dan menekan pedal gas sampai berhenti mendadak. Nyaris sedikit saja menabrak pembatas jalan. Buru-buru Namjoon menyentak pintu mobil dan berlari ke arah pantai, tapi ceroboh dengan terjerembab kaki sendiri ditambah adanya batu besar menyandung ujung sepatu, seketika membuatnya tersungkur. Dengan kalang kabut untuk segera bangkit, ia berteriak ke arah sosok tadi.

Namun, begitu dilihat, hanya kekosongan yang didapat. Napas memburu terbungkam, bergeming sesaat, kemudian mengedarkan pandangan.

Ke mana gerangan orang tadi?

Apa sudah terlambat?

Atau, itu hanya halusinasi?

Apa mungkin ....

Namjoon meremas rambutnya. Degup jantung masih memukul-mukul dada dengan cepat. Ia berusaha meredakan rasa panik yang mencekat. Menyesal tidak mengabaikan saja, karena sekarang ia mulai tercekik napas sendiri. Mata pun memanas, memburam.

Tidak, Kim Namjoon! Lawan itu, sialan! Jangan lemah!

Isi kepala dan batinnya mengulang-ulang kalimat bagai mantra disertai umpatan agar tersadar dari rasa was-was. Sekujur tubuh mulai menggigil bukan karena dingin yang menerpa, tetapi, pada akhirnya hal itu terjadi juga.

Maafkan aku, kak.

Namjoon menggeram keras. Meremas kepala sampai seakan menjambak rambutnya agar terlepas dari kulit. Saking sakitnya suara yang melintas dalam benaknya tadi, Namjoon spontan berlari ke arah air dengan pakaian lengkap. Tinggal sedikit saja menginjak perairan, sesuatu yang kuat menghantam perut sampai tubuhnya tersentak ke belakang. Jatuh terseret menjauhi air.

Pening hebat menyerang Namjoon, pandangannya memburam. Sebelum menyerah pada rasa sakit tanpa luka di tubuhnya, Namjoon menangkap siluet bundar terang benda langit dan sesosok bayangan yang perlahan mendekatinya.

Seseorang?

Namjoon merentangkan jemari kanan, meraih tak pasti udara dingin sembari bibir bergetar menggumamkan nama yang paling disayanginya.

"Tae-ya ...."

Lalu, semua gelap dengan gumaman halus yang asing sebagai pengantar.

.

.

.

.

.

.

.

[ Ada sensasi horor dikit, nih, aih. Uhum. Uhum. Nice ヘ( ̄ω ̄ヘ) ]

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang