Bump.

589 84 12
                                    

... .

Seokjin sedang merawat rumpun bunga-bungaan milik ibunya, di halaman belakang. Tak jauh darinya, Jungkook mengerjakan tugas sekolah sembari tengkurap dan bersenandung pelan. Suara cangkul kecil mencocok tanah, boot karet berderit, juga dengkus napas tiap kali beranjak menekuk lutut, mengalun seirama embusan angin pagi.

"Kook-ie, boleh ambilkan sekop dan ember kecil di gudang? Gulma-gulma nakal ini subur sekali. Apa kau tak merawat bunga ibu sedikit pun?" Seokjin membelakangi Jungkook yang tengadah dari buku tugasnya.

"Kurawat, kok. Gulmanya saja yang cepat tumbuh," balasnya seraya bangkit duduk. "Sudah satu jam, kak. Tak boleh lama-lama di situ. Buburnya dingin lagi. Mau minum obat, 'kan?"

"Iya, cerewet. Sana ambilkan dulu. Tanggung. Tahu sendiri aku tak suka kerja setengah-setengah."

"Ya ...."

"Jangan gunakan nada itu padaku, boca—aish!" Seokjin memejam, secuil tanah melompat hampir kena mata karena menarik sebongkah batu dengan paksa. Ia menggerutu sambil mengusap hati-hati ke wajahnya.

Jungkook meletakkan barang yang diminta Seokjin di dekatnya, lalu terkekeh sambil menunjuk ke hidung bangir yang belepotan tanah. Gemas, Seokjin mencolek pipi adiknya, meninggalkan dua ruas jejak kotor di sana. Jungkook beringsut menjauh dengan kesal. Protes jika kulitnya bisa jerawatan lagi. Seokjin meringis tak bersalah.

Pagi itu sepi, jadi suara debat kakak beradik Jeon bisa terdengar ke seisi rumah. Seru saling menyalahkan soal kewajiban dan kurangnya ketelatenan sampai barisan bunga kesayangan ibu mereka tidak seindah dulu, walau tetap tumbuh. Apalagi di musim gugur begitu. Tampak mengenaskan terlihat. Sampai mendadak keduanya diam untuk menyusun argumen lagi, sebuah suara dan ketukan terdengar. Ada yang datang rupanya.

Seokjin mengayunkan lengan. "Sana buka."

"Hmph! Tugasku belum selesai. Kakak paling dekat, tinggal belok kiri pun." Jungkook berpaling, menaiki undakan batu untuk kembali ke pendopo, tapi lengannya ditarik mundur.

"Sana. Sampah gulmaku masih berceceran begitu."

"Katanya tugas sekolah itu utama. Aku harus konsisten, kak."

Seokjin memutar Jungkook dan menepuk bokongnya untuk segera menuju gerbang keluar. Anak itu menggerutu. "Kak ...."

"Sana cepat. Kau anak pintar, dilanjutkan nanti juga beres." Seokjin mengesuh, sedikit melotot karena Jungkook mengerucutkan bibir sebelum berpaling melaksanakan perintah.

Jungkook menggaruk tengkuk sembari bergumam menebak siapa gerangan yang datang pagi-pagi di mana semua aktivitas baru menggeliat sibuk. Apalagi keadaan menjelang musim dingin seperti itu yang membuat orang-orang cenderung di rumah saja. Begitu menarik pintu kayu kembar di gerbang, mata dan bibir Jungkook membulat.

"Pagi," sapanya mengangkat dua buah bungkusan di masing-masing tangan. "Ada jajanan sedikit, nih."

"Kak Namjoon?"

.

Seokjin duduk bergabung dengan Jungkook dan Namjoon yang bercengkrama di pendopo. Ia sudah melepas sarung tangan berkebun juga selesai membersihkan pekarangan yang gugur menyisahkan tangkai-tangkainya itu. Sepiring makanan yang dibawakan si tamu; enam buah hotteok dan kkultarae yang tersusun rapi, diletakkan Seokjin di tengah-tengah mereka, serta nampan kecil berisi tiga buah teh hangat.

"Makanannya banyak sekali, Namjoon-ssi. Sampai masih sisa sekotak lagi. Tak perlu repot-repot lain kali."

Yang diajak bicara tertawa, Jungkook menegakkan punggungnya. "Iya, bawakan bungeoppang saja, kak."

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang