I choose.

575 91 19
                                    

... .

Daeyoung bergeming begitu menatapnya. Senyum yang ada di pria berwajah versi tua Namjoon itu perlahan memudar, saat disuguhi anggukan dan sapaan sopan dari Seokjin. Jungkook ikut memberikan respon yang sama, bahkan sigap menyuguhi makanan kecil berupa kue berbentuk ikan yang dibawa Jimin sesaat lalu. Daeyoung menolak dengan ramah, berujar jika ia masih kenyang dari usai makan siang. Beberapa pertanyaan seputar keadaan dilontarkan pada Seokjin, lalu sejenak mengusap kepala Jungkook karena anak itu membuatnya gemas. Pantas saja Namjoon betah berlama-lama di rumah sakit.

Namun, tentu bukan hanya Jungkook yang jadi alasan. Sebagai seorang ayah yang mengenal anaknya, raut cerah di wajah Namjoon tentu tak bisa diabaikan. Terlebih, karena tiap kali menatap pemuda di ranjang pasien yang menanggapi dengan sopan dan melempar senyum, Namjoon seolah tersedot hanya pada Seokjin. Ada raut bangga dan memuja yang menguar pekat di udara. Daeyoung merasakannya.

Pemuda itulah yang sudah membuat perubahan baik pada anaknya. Bukan seorang perempuan seperti yang dibayangkan. Karena tertipu oleh pujian Namjoon soal kecantikan. Sosok yang tengah memandang Daeyoung, punya rasa 'cantik' yang bukan pada umumnya dimiliki kaum hawa. Daeyoung merasakannya begitu tambah lama ia di sana. Tak heran, kenapa sampai Namjoon bisa terpikat.

Namun, Daeyoung perlu menegaskan sesuatu sebelum terlalu jauh. Rasa khawatir dalam dadanya menelusup dengan pasti.

"Ayah, bisa duduk dulu." Namjoon mendapati ditolak halus. Pria tuanya itu mengusap kepala Jungkook di sebelahnya sejenak lalu tersenyum pada Seokjin.

"Kurasa sudah cukup. Aku ada janji dan sepertinya Seokjin-ssi butuh istirahat. Bukan begitu?"

Seokjin mendengkus tawa. "Tidak juga, tuan Kim. Saya sangat berterima kasih sudah repot-repot dijenguk, padahal Anda pasti tengah sibuk. Maaf."

Daeyoung terkekeh. Ia menggeleng seraya mendekati Seokjin yang naluriah memajukan lengan untuk menyambut tangan yang terulur. Jemari ramping sedikit pucat itu diusap pelan. "Tidak ada yang minta untuk jadi sakit, bukan? Yang penting sekarang sudah bisa sehat lagi dan diberi kesempatan memperbaiki kelalaian. Kamu masih muda dan panjang jalannya, nak. Jaga dirimu baik-baik setelah ini."

"Tentu, tu—"

"Panggil paman saja. Sepertinya anakku di sana itu keberatan tiap kali sapaan formal terdengar." Namjoon seketika membenahi posisi berdiri dan dan bergumam 'ayah' dengan sangat tipis. Seokjin dan Jungkook menggulum senyum.

"Baik, paman. Terima kasih sudah menjenguk."

"Sama-sama, Seokjin-ssi. Aku pamit dulu. Dan, ah, ya, harus kubawa juga anak jangkung ini. Tidak apa, 'kan? Karena sepertinya ia tidak mau ikut denganku dan lebih memilih hanya mengamati dengan puja di sana." Daeyong meremas pelan tangan di genggamannya lalu melepas, sedang Namjoon berjalan kikuk mendekatinya. Jungkook mengerjap tidak mengerti situasi alih-alih bertanya kenapa Seokjin terbatuk-batuk.

"Telinga kakak merah lagi," celetuk Jungkook yang segera digesuh Seokjin.

"Uh, um, aku pamit juga, ya? Nanti Jimin akan ke mari untuk membawa makan malam. Aku sedikit telat datang sepertinya ...," terang Namjoon sedikit berdeham. Ayahnya menepuk bahu dan mereka pun berlalu menuju pintu. Namjoon masih mengeluh pada Daeyoung sembari mereka ke lift, tapi hanya ditanggapi tawa ringan.

"Ayah suka sekali mempermalukan diriku. Maksudnya apa tadi? Jangan terang-terangan begitulah. Aku—"

"Kita bicara di mobil," potongnya segera. Intonasi suara yang berubah serius itu, membuat Namjoon bergeming. Sampai akhirnya di lantai dasar dan ke parkiran, tak satu pun yang buka suara begitu mereka di dalam mobil. Aura yang menguar terasa sesak dan Namjoon mengepalkan tangan untuk bersiap akan apa yang hendak ia dengarkan.

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang