... .
Seminggu lebih dua hari, Seokjin dirawat intensif. Kondisi yang dideritanya diakibatkan karena pukulan mental juga psikis yang dialami setelah kematian ayahnya. Kekalutan yang dirasakan tambah runyam karena Jungkook menghilang saat itu di tengah hujan deras. Hal yang tidak diketahui sebelum akhirnya menemukan Jungkook mendekam di Hakdong adalah, Seokjin tersungkur jatuh. Kepalanya terantuk batu pembatas jalan, tapi karena hanya memikirkan untuk segera menemukan Jungkook, sakit berdenyut di kepalanya tak dihiraukan. Baru setelah sampai di rumah, Seokjin mengalami sakit kepala hebat disertai demam tinggi. Tak ada luka serius yang nampak, jadi Jungkook dan paman bibinya mengira Seokjin terkena demam biasa dari hujan-hujanan. Saat tak kunjung bangun setelah tiga hari itulah, keluarga membawa Seokjin ke rumah sakit setempat, tapi tak ada diagnosa serius saat itu. Obat yang diberi pun rutin disuntikkan melalui infus, tapi Seokjin tak juga bangun. Sampai akhirnya biaya membengkak dan tak sanggup lagi ditanggung, Seokjin dirawat jalan.
Jungkook paling merasa bersalah akan hal itu. Karena menyusul dirinya Seokjin jadi tak bangun lagi.
Sebenarnya Jungkook diam-diam mencari informasi juga mengumpulkan upah dari membantu bibinya untuk membawa Seokjin ke Seoul. Walau ia tahu, mungkin saat Seokjin terbangun di sana dan tahu berada di mana, kakaknya itu akan marah besar. Jungkook hanya tahu apa pun tidak mengapa asal Seokjin bisa ditolong.
Seoul terlarang untuk Seokjin karena membuahkan kenangan pilu.
Kenapa, kak?
Aku bisa gila jika berada di kota itu lebih dari satu hari, Kook-ie. Kita akan baik-baik saja sampai tua di Geoje. Oke?
Tapi, bukan karena-
Cukup! Dengar. Aku hanya memilikimu sekarang, Kook-ie. Jadi, kumohon ikutlah pulang. Besok masih bisa buat menara untuk ayah. Jangan di tengah hujan badai begini. Ayo.
Kakak marah, ya?
Tidak kalau kau jadi anak baik dengan menuruti apa kataku.
Menyebut kota itu pun tak boleh?
Iya. Kecuali kau mau aku murka.
Untuk menghindari situasi itu, Jungkook harus selalu berada bersama Seokjin, kalau-kalau ia bangun nanti. Dengan adanya Jungkook, emosi Seokjin setidaknya bisa teredam demi kesehatannya juga. Ya. Itulah yang jadi pemikiran Jungkook selama di sana.
"Pokoknya kak Namjoon harus mengabariku jika kakak bangun, ya? Jangan sampai tidak."
Katanya suatu hari dengan anggukan ramah Namjoon sebagai jawaban.
Dan, begitulah. Jungkook tengah makan malam dan membersihkan dirinya di apartemen Namjoon ditemani Jimin sementara empunya terduduk dengan buku terbuka di sebelah ranjang Seokjin. Setiap malam, ia dengan rela melakukan itu agar Jungkook tidak terlalu lelah apalagi sampai ikutan sakit, karena seharian telah menjaga si kakak.
Menutup halaman kesekian karena leher pegal, Namjoon meletakkan bukunya ke nakas. Ia merapatkan diri ke sisi kiri Seokjin. Di luar, nampak bulan bersinar penuh. Begitu indah dan misterius. Sama seperti ketika menatap wajah memesona yang terbaring. Ganti melipat lengan dan menjatuhkan dagu, Namjoon memerhatikan sosok tertidur yang mulai tampak hidup.
"Seokjin-ah. Ayahku berniat datang besok. Tidak apa, 'kan? Ia cuma mau melihatmu. Seseorang yang berhasil mencuri perhatianku, katanya. Apa terlihat kentara sekali jika aku menyukaimu, ya?" Membiarkan pertanyaannya mengambang, Namjoon menyentuh kening Seokjin dengan buku jemari kanan, mengusap pelan. "Masih belum mau bangun? Jika enggan bertemu denganku saat buka mata nanti, setidaknya biarkan Jungkook melihatmu. Kasihan dia, menunggumu terus. Bukankah kau menyayanginya?"
Namjoon terdiam, tak lagi mengusap kening Seokjin. Tanpa mengurangi rasa rindu yang membuncah, ia beranjak dari kursi, duduk di tepian ranjang, mengamati lamat-lamat wajah Seokjin yang seperti manekin.
"Apa kau di sini, Seokjin-ah?" Getaran frekuensi sensitif Namjoon dibiarkan menguar. Berharap merasakan kehadiran Seokjin walau setipis uap. "Kau menolak hadir lagi semenjak aku nyaris kelepasan pada Jungkook. Apa perlu aku melakukan hal yang sama agar kau mau menampakkan diri? Jika tidak, cukup bangun dari tidurmu, Seokjin-ah."
Hening. Kalimat Namjoon lagi-lagi dibiarkan mengambang tanpa jawaban.
Sedikit terpicu lelah, selintas pikiran menyentil otak Namjoon. Ia menatap jemari ramping yang tak bosan digenggam, meremasnya lalu tubuh merunduk sampai wajah mereka sejajar. Bulu mata yang panjang itu tertata rapi. Benar-benar tak ada setitik pun bintik hitam di wajah si cantik. Embusan napas hangat menyentuh hidung, karena hanya jarak tiga jari menghalangi.
"Seokjin-ah. Dirimu begitu memesona. Parasmu membayang tak kenal waktu. Suara merdumu terngiang tanpa henti di benakku. Wujudmu indah tanpa ragu. Semua bagai candu yang berpadu memabukkan diriku, tapi kini rasa gelisah mulai mengusikku hari demi hari karena tak lagi melihat pesonamu senyata dulu. Atau, benarkah masa itu hanya kenangan semu?" Namjoon mengusap pipi dingin Seokjin, menelengkan kepala dengan masih memandang puja. "Haruskah ada sihir yang kumentahkan agar bisa melihatmu tersenyum lagi? Katakan padaku, Seokjin-ah. Katakan."
Suara yang berbisik rendah itu masih setia dijawab keheningan. Napas pelan dan raut bergeming yang lekat di depan hidung, nampak tentram seperti biasanya. Tidak ada reaksi berarti.
Namjoon mencengkeram sisi bantal Seokjin. Ada setitik rasa kesal dalam lengkungan senyumnya. "Atau ... kau terlalu angkuh untuk sekadar menghadapiku yang menyatakan rasa suka? Baiklah, kuterima tantanganmu. Hanya saja, bagaimana jika pangeran meminta putri tidurnya bangun sekarang?"
Namjoon juga manusia yang memiliki sisi egoisnya. Walau tahu bakal mungkin berisiko, ia hanya tertuju untuk segera melakukannya saat itu juga atau tidak sama sekali.
"Hentikan aku atau ...." Namjoon menahan napas begitu bibirnya menekan suatu rasa yang begitu lembut, tapi dingin. Sekujur tubuhnya seperti disiram es lalu seketika menghangat saat memutuskan lebih menekan. Kontak fisik yang mengirim rangsang kejut itu sampai terasa seperti euphoria. Hingga gemuruh aneh nan nyaman dalam perut dan dadanya, mendorong Namjoon untuk membuka belah bibir agar semakin menggulum ranum kenyal yang mulai membuatnya ketagihan itu.
Keheningan dan sejuknya ruangan, tak mengusik. Dengan tidak adanya pukulan tak kasat mata sebagai tumpuan ke kenyataan agar berhenti gegabah, Namjoon menganggapnya sebagai lampu hijau untuk meneruskan kecupan riskan yang entah sudah berapa lama dirasakan.
Baru saat napas sendiri terasa mencekat, Namjoon menarik diri dengan enggan.
Secara bersamaan, tanpa disadari, kedua pasang mata itu membuka. Bayangan buram yang perlahan menjelas, membuahkan geming kesunyian saling berlawanan.
Satunya terhenyak tak percaya, sedang yang lain masih berusaha mencerna.
Kelopak yang lama mengatup tidur itu mengerjap pelan tak pasti, pendar mata bulatnya seperti riak air tenang, dahi mengerut sesaat membiarkan indra perasa beradaptasi, lalu bibir ranumnya bergumam lirih.
"... Kook-ie ...."
Namjoon menarik napas seolah sekitar menyedotnya paksa agar kembali sadar.
Karena sang putri tidur, telah menjawab kecupan magis pangerannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
[ Nah loh! Nah loh! Ini nih akibat anak orang maen cipok aja, bambangk ಠ_ಠ Tanggung jatah lu ┐(゚д゚┐) aseek (°∀°)b ]
KAMU SEDANG MEMBACA
Saram to Sarang | NJ ✔
Lãng mạn[BTS - Namjin] Karena demi rembulan dan hamparan air di lautan, manusia itu aneh. Tak terkecuali dirinya, yang berharap mengerti apa artinya mencinta. . . Disclaimer : BTS milik BIG HIT entertainment dan Tuhan YME. Penulis hanya mengklaim plot dan...