16. Past Time [Pt.1]

38 7 0
                                    

"Rasa benci itu..berubah menjadi rasa penyesalan."
.
.
.

September 2018.

SUASANA sore hari membuat Kota Daegu terlihat ramai pengunjung, entah itu turis yang sedang berkunjung, atau orang-orang yang ingin cepat pulang ke rumahnya berupaya melepas penat sehabis membanting tulang seharian.

Terkecuali bagi keluarga seorang cowok dengan tubuh tinggi-padahal usianya baru beranjak 15 tahun. Cowok itu-Jisung bersama seorang ayah yang sedang memandang sendu tubuh seorang wanita berkepala dua yang saat itu memejamkan matanya di ranjang rumah sakit yang tidak begitu besar. Ruangan bernuansa abu-abu menjadi saksi bisu tangisan seorang anak yang sedari tadi tak bisa berhenti. Bagaimana tidak? Mulai hari ini dan seterusnya, bundanya tidak akan pernah bisa; memeluknya erat lagi, tidak akan pernah bisa; mencium pucuk kepalanya, tidak akan pernah bisa; tertawa bersama dengannya, dan tidak akan bisa; memarahinya lagi. Rasa penyesalan itu hadir, dan terus menghantuinya, hingga ingin rasanya ia memutar waktu. Andai saja ia lebih becus menjaga bundanya 24 jam penuh, pasti peristiwa yang tidak ia damba-dambakan itu tidak akan terjadi.

Ayahnya yang tetap setia berada di sampingnya hanya bisa menenangkannya dengan cara mengelus bahunya, dan berusaha membohonginya dengan cara menyangkal bahwa bundanya hanya tertidur untuk sementara. Tapi Jisung tidak naif. Ia memang anak yang masih beranjak di Sekolah Menengah Pertama, dan bukan berarti ia begitu naif sampai mudah dibohongi. Namun ia tidak berontak saat ayahnya berusaha menyangkal semua itu, ia memilih membiarkannya, mungkin ayahnya hanya tidak mau ia berlarut-larut dalam kesedihannya karena kehilangan seseorang yang memang sangat berarti di dalam hidupnya.

Ayahnya bangkit, dengan nafas yang tidak teratur, dan bulir-bulir air mata yang masih menetes, seolah-olah tidak mengizinkan dia untuk beristirahat sejenak.

"Appa mau kemana?"tanya Jisung di sela-sela tangisannya. Dengan terpaksa cowok itu mengalihkan arah pandangannya menjadi kearah ayahnya.

Seorang pria berkepala dua dengan wajah tampan yang tetap bersinar diusianya yang sudah mulai menua itu hanya mengusap pucuk kepala Jisung, dan mencoba tersenyum tipis, walau hatinya sangat sakit bila melihat anak satu-satunya yang sedang mencoba sebisa mungkin untuk menahan tangisannya. Bukan hanya anaknya, hatinya, juga sangat sakit, raganya pun seketika rapuh. Istrinya yang sangat dia sayangi, dia cintai, meninggalkan dia dan anaknya begitu saja. Tapi sebisa mungkin dia mengikhlaskannya. Mungkin kejadian istrinya yang meninggal adalah bentuk rencana tuhan yang terbaik untuk keluarga mereka kedepannya. Dia sangat yakin, tuhan mempunyai maksud dari semua ini, dan tentu saja maksud baik.

"Appa gak bisa lama-lama, sebentar lagi appa ada jam kerja." Pria itu kembali mengusap rambut anaknya, sebelum akhirnya pergi begitu saja dari ruangan yang saat itu tinggal tersisa Jisung dengan tubuh istrinya yang sudah tak berdaya.

Jisung menatap kepergian ayahnya dengan nanar. Dimatanya, ayahnya tak kunjung berubah, dia selalu memikirkan pekerjaan, bahkan disaat bundanya meninggal sekali pun.

Salah satu telapak tangan Jisung mengepal, perasaan benci terhadap ayahnya yang sudah lama tak kunjung muncul, kini kembali muncul. Ayahnya..memang benar-benar keterlaluan, dan ayahnya..adalah monster yang gila pekerjaan. Tadinya dia berusaha tidak membenci ayahnya, tadinya dia berusaha melumrahkannya, dan tadinya dia ingin berfikiran baik mengenai ayahnya. Tapi sudah terlanjur. Perasaan benci sudah mengendalikan segenap jiwa dan raganya.

***

Jisung menatap kosong kuburan yang dimana di dalamnya terdapat tubuh bundanya yang sudah di timpah oleh tanah-tanah. Pemakannya memang sudah selesai sedari tadi, namun ia masih setia menatap kuburan itu seorang diri, sesekali air matanya ikut menetes, namun dengan cepat ia mengelapnya. Ia sudah memutuskan, tidak boleh ada tangisan lagi mulai saat itu, dia harus mengikhlaskannya-walau rasanya amat susah.

My Rabbit•Park JisungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang