Prolog

42.1K 2.1K 24
                                    

Aku Rhaya. Rhaya Langit Arimbi. Umurku 21 tahun, dan sekarang sedang berkuliah di sebuah universitas swasta di Bandung.

3 tahun lalu, aku memutuskan untuk pergi dari kota kelahiranku. Meninggalkan semua kenangan pada setiap kejadian yang selalu berujung pada sebuah rasa yang bernama kesedihan, terluka, marah, sepi, tak berdaya dan perasaan-perasaan mengganggu lainnya. Dengan memberanikan diri, dan tanpa perduli akan nasib yang mungkin nanti tidak berjalan dengan semestinya, aku memilih untuk menjauh terutama dari kedua orangtuaku.

Aku, gadis berusia 18 tahun, yang menjadikan kuliah sebagai alasan untuk pergi meninggalkan semua perasaan sesak yang terus menerus hadir. Sebuah  perasaan yang paling aku benci karena di atas dadaku seakan-akan ada sebuah batu besar yg terasa menghimpit dengan begitu kuatnya.

Demi Tuhan, aku benci rasa sesak ini. Dan aku butuh ruang untuk diriku sendiri.

Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Percayalah, ketika kau mempunyai tiga orang kakak yang kepintarannya diatas rata-rata, ada suatu kebanggaan di dalam hatimu. Tapi, semua perasaan bangga itu semakin lama semakin tertutupi oleh sebuah rasa bernama rendah diri. Sebuah perasaan yang tercipta karena acapkali dibanding-bandingkan tidak hanya oleh kedua orangtua tapi juga guru, teman, tetangga rumah dan para saudara.

Setiap kali aku melihat tatapan penuh kebanggaan Abah pada ketiga kakakku, hanya rasa iri yang kurasakan karena tidak sekalipun sorot penuh kebanggaan itu aku dapatkan tidak peduli seberapa keras pun aku berusaha. Lalu pada akhirnya, semua perasaan sedih, terluka, dan merasa diabaikan itu semakin lama semakin menggerogoti hatiku.

Aku memang tidak pernah mengalami kekerasan fisik tapi sungguh, tatapan mata itu, tatapan mata yang aku terima setiap melakukan sesuatu atau setiap kali aku mengenakan sesuatu ditubuhku, selalu sukses membuat kepercayaan diriku jatuh sampai ke dasar.

Tatapan menyelidik dengan diiringi kerutan di dahi seakan-akan apa yang aku lakukan atau apapun yg aku kenakan semua tidak cukup baik.

Dan aku rendah diri karenanya. Lalu pada akhirnya, akupun menyerah.

Aku, si anak bungsu yang biasa-biasa saja. Tidak pintar tapi juga tidak bodoh, dan pada akhirnya memilih Bandung untuk melarikan diri dan memulai sesuatu yang baru. Suasana baru, teman-teman baru dan mungkin saja sebuah perasaan baru.

Cinta.

                                 ***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

                                 ***

Hai...hai... makasih ya yang udah pada mampir buat baca Toko Buku Kecil. Boleh loh kalau mau ngobrol2 di kolom komen 😊. Semoga cerita Toko Buku Kecil bisa menghibur kalian di masa pandemi ini. Maafkan ya kalau masih banyak kurang2nya. Maklumin aja masih belajar  ehehehe... Sehat2 selalu ya semuanya.

Ohiya jangan lupa vote plus follow aku juga di sini ya. 🤗🤭🤭 byeee!!!

Stay Safe, Stay Healthy!

Toko Buku Kecil (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang