The Past

90 30 6
                                    

Anak itu menepikan langkahya, berteduh pada sebuah pohon besar di sana. Netranya menatap lurus ke depan. Memandang rintik air hujan yang jatuh ke tanah.

Hujan semakin deras, gemuruh dan petir bersautan menggelegar, dengan awan hitam sebagai latar belakang.

Dia meniup kedua tangannya, sembari terus menggosokkan, sesekali menangkupkannya ke pipi.

Seragam sekolah yang di kenakan basah kuyup, karna sempat menerobos hujan tadi.

Angin berhembus semakin kencang, membuat tubuhnya semakin menggigil.

Dia menyebarkan pandangannya, menatap sekeliling yang sangat sepi. Hingga akhirnya netranya melihat siluet seorang bocah berseragam yang tengah duduk meringkuk, di bawah pohon. Jarak keduanya terbatas 4 pohon.

Anak itu sempat ragu, takut jika dia akan di jauhi, seperti yang lain.

Tapi, melihat bocah tersebut yang terlihat ketakutan, membuatnya memberanikan diri untuk berjalan mendekat.

Dia mendudukkan diri di samping bocah itu. Duduk sembari memeluk kedua lutut yang di tekuk, dengan pandangan menatap sepatu yang di kenakannya. Tidak berniat membuka percakapan.

Bocah itu sepertinya menyadari keberadaannya, terbukti dengan wajah yang perlahan mendongak menatap ke arahnya.

Anak itu menoleh, merasa di perhatikan. Dia sempat terkejut melihat keadaan si bocah yang terlihat berantakan.

Mata sembab, wajah pucat dengan bibir bergetar, juga pundak yang terlihat bergetar.

Sama seperti apa yang ada di pikirannya, bocah itu pasti tengah ketakukan.

"Halo!" sapa anak itu, memberikan senyum yang menurutnya terbaik, dengan dua dimple yang menghiasi kedua pipinya.

Si Bocah bertambah takut kala melihatnya. Takut jika di sampingnya ini adalah orang jahat yang akan menculiknya.

Si anak nampak gelagapan, dia menggelengkan kepalanya cepat. "Ja-jangan takut. A-aku tidak akan menyakitimu," jelasnya, menggerakkan kedua tangan kecilnya.

Sang lawan bicara menggigit bibir mungilnya, dia menatap si anak ragu. "Ta-tapi, kata Mo-mi ... ndak boyeh pelcaya cama olang acing," cicit si bocah, dengan aksen cadelnya.

Si anak terkekeh pelan. Dia lalu mengulurkan tangannya di hadapan sang bocah. "Baiklah. Aku Soobin, Han Soobin. Ayo berteman, dan maka dari itu kita bukan orang asing lagi," kenal si anak.

Bocah itu diam berberapa saat, sebelum tangan dinginnya membalas uluran itu. "Hyuka."

+×+

"Gue duluan, ya, Bang!"

"Yoi!"

Soobin melangkah keluar dari Caffe, bergegas pulang ke rumah.

Tak terasa, sudah hampir dua minggu dia bekerjadi Caffe ini serta masa skorsing yang tidak memiliki kepastian. Waktu sungguh berjalan begitu cepat, dan selamat itu kehidupanya sedikit berubah.

Biasanya, jika di pagi hari dia akan bersiap berangkat ke sekolah, kini dia akan bersiap berangkat bekerja. Pergi bermain seperti remaja sebayanya, waktu luangnya dia habiskan dengan diam di rumah atau sesekali berkunjung ke rumah Moonbyul. Jika dulu dia memiliki 4 orang sahabat, kini dia hanya mempunyai 1 saja. Itu pun, mereka bertemu hanya jika sedang kebagian shif kerja bersama.

4 orang sahabat konon. Yang katanya, dulu pernah berjanji untuk terus bersama dan saling percaya apapun keadaannya, kini membencinya dan menghilang tanpa kabar.

Benar adanya, jika masa depan itu tidak selalu seperti apa yang kita inginkan. Berekspetasi tinggi dan berakhir dengan di jatuhkan oleh sebuah realita, yang sudah tertulis pada sebuah garis takdir setiap insan.

Nestapa akan selalu menghantui namun, di balik itu semua, Sang Pencipta tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya. Di balik sendu pasti akan terdapat Harsa. Kebahagiaan pasti akan mendatangi setiap insan, entah dengan cara yang mungkin tidak pernah terduga.

Dan Soobin mengalami itu semua. Pemuda itu hanya pasrah mengikuti alur yang telah di tetapkan.

"Soobin pulang!" teriaknya, melangkah masuk ke dalam rumah, lalu menutup kembali pintu yang sempat di bukanya.

Pemuda itu menaruh kantong keresek berisi makanan-yang sempat di belinya tadi pada meja makan. Hanya makanan biasa yang bisa di beli dengan harga murah.

Di bukanya tudung saji di hadapannya, melihat sepiring makanan yang masih utuh, belum di jamah. Pasti Ayahnya itu tidak makan.

Soobin menaruh tas rasel yang di tenteng pada kamar miliknya. Lalu kembali lagi ke dapur untuk mengambil peralatan makan untuk dirinya dan sang Ayah.

Setelahnya, dia berjalan menuju kamar Ayahnya. Mengetuk pintu berwarna hitam itu beberapa kali, lalu melangkah masuk ke dalam tanpa menunggu respon dari si empunya.

Di sana terlihat sang Ayah yang tengah menyesap seputung rokok di sembari menatap keluar jendela.

"Yah, makan siang dulu," ujarnya, namun, tidak mendapat respon dari si empunya.

"Ayah?"

"Ck, gue gak laper!" jawab Yoongi ketus, tanpa mengalihkan pandangan.

Soobin menghela. "Laper atau enggaknya, Ayah tetap harus makan. Bisa-bisa Ayah sakit kalau enggak ada asupan yang masuk ke tubuh," kilahnya.

"Bukan urusan, lo," desis pria paruhbaya itu.

"Tentu urusan, Soobin. Karna Ayah, Ayah Soobin."

Yoongi nampak menghembuskan napas kasar, dia bangkit. "Cih, gak sudi gue makan sama, lo!" decih pria paruhbaya itu, berlalu pergi meninggalkan rumah.

Soobin menghela, dia menatap sayu kepergian sang Ayah.

+×+

Pria paruhbaya itu berjalan gontai dengan tak tentu arah. Moodnya langsung hancur karna kejadian tadi.

Dia terus berjalan tanpa melihat sekitar, dan berakhir menabrak seorang pejalan kaki.

Keduanya terjatuh di aspal.

Dia mendongak, menyernyit bingung melihat orang baru saja di tabraknya. Merasa familiar tatkala melihat wajah orang tersebut.

"Kau?"

"Di mana, Anakku?!"

To Be Continued ...

Hayo, apaan tuh :>

Ada yang masih daring? Semangat!

[√] Can't You See Me? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang