"Soobin berangkat dulu, ya, Yah!"
Soobin melangkah keluar dari rumahnya. Seperti biasa, pagi hari dia akan berangkat menuju tempat kerjanya.
Senyum lebar terus terpatri di bibirnya, sejak pagi tadi. Bagaimana tidak? Ayahnya menyempatkan diri untuk sarapan bersama, lagi.
Bagaimana pria paruhbaya itu tiba-tiba keluar dari kamarnya, duduk pada kursi meja makan, lalu menyantap sarapan yang Soobin buat. Mengabaikan keterkejutan si anak muda saat melihat tingkah tidak biasanya itu.
Tidak bisa di pungkiri bagaimana bahagianya Soobin sekarang. Sesuatu dalam dirinya seakan, akan meledak jika dia tidak menahannya.
Ya, memang hanya sebatas makan bersama tanpa adanya percakapan satu sama lain. Soobin tak mempermasalahkan itu, mungkin lambat laun sikap sang Ayah yang semula dingin bisa menghangat seiring berjalannya waktu.
Tapi, melihat sikap Ayahnya sejak sore tadi-yang tidak seperti biasanya-membuatnya sedikit menaruh curiga.
Entah kenapa, dia merasa bahwa ada suatu hal yang telah terjadi pada sang Ayah saat pria paruhbaya itu pergi dari rumah. Tiba-tiba datang dan ikut makan bersamanya, suatu kejanggalan tersendiri.
Tengah malam, saat dia terbangun karna haus, saat hendak ke dapur, dia mendengar suara dari arah kamar sang Ayah. Terdengar berbagai macam umpatan, yang Soobin sendiri tidak tahu di tunjukkan kepada siapa itu.
"Hai, Sena!"
Yang di panggil menoleh, melanbaikan tangannya ke arah si pemanggil.
"Tumben berangkat jam segini," celetuk Soobin, mensejajarkan langkah keduanya.
"Mau mampir ke cafe dulu, Kak. Mau ngecek aja sebentar," jawab gadis itu, membuat sang lawan bicara menyernyitkan dahi.
"Bunda gak bisa ke sana. Jadi, aku," lanjut nya, seolah tahu apa yang ada di pikiran Soobin.
"Bibi kenapa?"
+×+
"Bang Jun!"
Yeonjun terdiam, mendengar suara dari arah belakang yang memanggilnya. Dia tahu siapa si pemilik suara, itu Beomgyu.
Lee Beomgyu, salah satu nama yang kemarin di sebutkan sebagai tersangka.
Yeonjun menghembuskan napasnya, dia mengulas senyum, menoleh ke arah tiga orang sahabatnya yang kini berjalan menghampiri. Sebisa mungkin, dia berusaha bersikap seperti biasa.
"Paan?"
"Nyapa doang elah."
Keempat pemuda itu melangkah menuju tempat biasa berkumpul, sesekali melemparkan candaan satu sama lain. Bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Eh, iya. Lo kemarin ke mana, Bang?" tanya si pemuda beruang.
Yeonjun mendelik. "Belajarlah, bego! Udah tau mau uenbeka, masih santai aja."
"Gue tau gue bego dan gak sepinter tu orang, Bang." Beomgyu menaruh tangannya di dahi, bersikap mendramatrisir keadaan. "Tapi, sebego-begonya gue, enggak pernah nangis karna dapet nilai sembilan delapan," lanjutnya.
Taehyun menatap datar pemuda beruang itu, yang sepertinya tengah menyindir dirinya.
Ya, dia akui, dulu saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, dia pernah menangis karna mendapat nilai 98 di salah satu mata pelajaran favoritnya, fisika. Bukan menangis karna bahagia, melainkan karna sedih dan kecewa pada diri sendiri. Hal itu pun, membuatnya menjadi bahan bulan-bulanan para sahabatnya, terutama Beomgyu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Can't You See Me? [END]
Teen FictionKisah seorang anak laki-laki yang kini tengah bimbang akan apa yang dia alami saat ini. Masalah kian sering menimpanya dan kebencian yang selalu menyelimuti dirinya. Dengan semua yang terjadi dia kehilangan orang-orang yang sangat dia cintai serta s...