Perang Batin

1K 117 9
                                    

Sahmura keluar dari mobil setelah Biyan membukakan pintunya. Mereka jalan berdampingan menuju ke gedung utama, tempat diadakannya acara pernikahan Ziro, sepupunya Biyan. Disepanjang jalan, tangan Biyan memeluk pinggang Sahmura membawa gadis itu lebih dekat dengannya.

"Kamu cantik, saya suka," ucap Biyan entah untuk keberapa kalinya.

Sahmura hanya tersenyum membalasnya. Tidak ada rona dipipi, tidak ada senyum yang malu-malu. Biyan memujinya bukan hal yang aneh, kata-kata pujian terlalu sering keluar dari mulut pria itu sehingga Sahmura merasa biasa saja.

"Eh, Biyan," seorang wanita paruh baya menepuk bahu Biyan, "ini ya perempuan yang sering kamu ceritakan itu? Cantik ya."

Biyan tersenyum sambil mengangguk.  "Mura, kenalin ini tante saya. Tante, kenalin ini Sahmura." Mereka saling berkenalan. Amel —Tante Biyan— membawa Sahmura berkenalan dengan seluruh anggota keluarga.

Saat ini, anggota keluarga Biyan tengah berkumpul di rooftop gedung. Mereka berbincang-bincang sambil menikmati angin malam yang sepoi-sepoi. Amira —Mamanya Biyan— menuangkan segelas teh hijau lalu memberikannya untuk Sahmura. "Di minum ya."

"Iya, Tante. Terima kasih." Amira mengangguk lalu duduk tepat di samping Sahmura.

"Kalian sudah cocok dan juga saling mencintai. Kapan mau melanjutkan ke jenjang selanjutnya?" tanya Amira yang mampu membuat napas Sahmura tercekat.

Kenapa harus pertanyaan itu. Dia mengenal Biyan baru satu tahun. Mereka juga masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Sahmura sibuk dengan urusan kuliahnya dsn Biyan sibuk dengan kantornya.

Biyan merangkul Sahmura. "Sahmura masih kuliah, Mah," ucap Biyan.

"Ya gapapa, kan bisa tunangan dulu."

Pandangan Biyan beralih menatap Sahmura. "Bagaimana? Kamu mau enggak?"

Kenapa jadi Sahmura seperti ditekan seperti ini. Sahmura mengigit bibirnya, berusaha mengurangi kecanggungan saat ini. "Terserah Mas aja." Di dalam hati dia berdoa, semoga ucapannya tadi tidak salah.

"Besok bilang sama orangtua kamu ya, saya sekeluarga mau ke rumah kamu."

EH? GIMANA?

Semenjak perbincangan tentang minggu depan Biyan akan melamarnya, Sahmura hanya diam sampai mereka berada di mobil. Tidak ada satu pun kata yang dia lontarkan, pikirannya sedang berkecamuk.

"Kamu kenapa? Kok diam aja?" tanya Biyan yang akhirnya menyadari.

Sahmura menggeleng. "Enggak kenapa-napa. Cuma lelah aja, Mas."

"Yaudah, istirahat aja. Nanti kalau sudah sampai rumah, saya bangunkan."

Sahmura mengambil ponselnya. "Mau kabarin Samira dulu, aku udah diperjalanan pulang." Biyan tidak menjawabnya lagi.

Tangan Sahmura mengetik pesan ke Samira, setelah itu matanya terpaku menatap pesan dari Mamanya Samuel yang sampai hari ini belum dia balas.

Sejujurnya sedari tadi pikirannya sedang berkecamuk memikirkan kondisi Samuel. Perang batin terjadi di dalam tubuhnya. Hatinya meminta dia untuk mendatangi Samuel, tetap otaknya bilang jangan. Dia harus tetap menjaga rasa percaya Biyan yang telah diberikan kepadanya.

Sahmura mematikan ponselnya lalu menutup matanya. Hari ini seharusnya dia bahagia, tetapi kebahagiaannya seakan tertahan. Ada seseorang dibalik kebahagiaan yang mengharapkan kepedulian darinya.

Kepedulian Sahmura yang sangat dibutuhkan oleh Samuel.

Samuel hanya butuh dirinya.

Dahulu, dia berusaha untuk menjadi obat Samuel.

Sekarang, ketika yang dia obati kembali sakit dirinya seakan tidak peduli.

Namun, dia tidak tahu harus melakukan apa.

Dia harus melakukan apa?

Bersambung ....

SahmuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang