23 ~ Hari kedua dengan Indra ~

38 10 0
                                    

"Tempat apa ini?" Tanya Nandia bingung. Dia belum pernah pergi ke tempat ini.

"Mau disini aja atau turun?" Indra tidak mendapati Nandia menjawab bahkan merespon kalimatnya.

Mata Nandia masih memandang bagunan di hadapannya. Seperti rumah, tapi milik siapa? Untuk apa kesini? Nandia masih diam.

"Kalo kamu gak turun, kamu gak bakal tau apa yang kamu liat." Indra langsung membuka pintu dan keluar. Dari luar Indra masih saja melihat Nandia tercengang.

Indra mengetuk ngetuk bagian depan mobilnya. Berhasil membuat Nandia membuyarkan dari lamunannya itu. Bergegas keluar mengikuti Indra yang sepetinya akan memasuki rumah itu.

"Tunggu!" Indra menoleh pada Nandia yang kini sudah menyamai jalan di sampingnya.

Tidak perlu mengetuknya Indra langsung masuk saja. Rumah ini tidak terkunci namun di depannya terdapat dua sekuriti yang sedang berjaga. Tidak tahulah dengan tempat ini.

Saat masuk ada seorang laki - laki tua menghampiri Indra. Berkuliat hitam langsap dan sudah begitu banyak urat di tangannya yang tampak terlihat jelas. Pria itu di salami oleh Indra yang dengan spontan Nandia mengikutinya.

"Sudah lama tidak jumpa, Pak." Kata Indra tersenyum dengan bapak tersebut.

"Sudah, seperti tujuh musim berganti kita tidak berjumpa. Bagaimana kabar kamu?" bapak tersebut menepuk pundak Indra yang sepertinya mereka sudah mengenal lama. Bapak tersebut berjalan membawa kami ke dalam ruangan selanjutnya.

Nandia tercengang. Benar - benar terkejut saat begitu banyam lukisan terpampang jelas di setiap sisi dinding rumah ini. Apakah ini biaa di sebut galesi seni lukisan? Tapi kenapa tidak ada tulisan di depan sana tadi? Tapi ini benar seperti galeri lukisan.

"Bagus - bagus sekali!" Ucap takjub Nandia.

"Begitulah, saat segala perasaan beradu menjadi satu dapat menciptakan sebuah maha karya yang begitu indah." Ucap bapak tersebut yang langsung di toleh Nandia. Tidak hanya dengan lukisan ini yang indah namun tutur kata yang seperti selalu memiliki makna dari yang bapak itu ucapkan menambah takjub Nandia.

"Oya, perkenalkan, Nan, Ini pak Sastro, pemilik gerai lukisan ini." Nandi memperkenal Bapak tersebut yang bernama Sastro. Nandia menglurkan tangan berkenalan dengan Bapak tersebut.

"Nandia Purmanandi."

"Nama yang Indah." Nandia hanya tersenyum. Kembali mata Nandia menilik satu persatu dari sekian banyak lukisan yang pajang di sisi dindingnya.

Dari sana ada salah satu lukisan yang berhasil menarik perhatiaanya. Seorang sedang duduk di ramainya ilalang dengan menatap lapangan berumput yang luas. Persis seperti tampat yang ingin Nandia kunjungi tepat mirip dalam film This is cinta.

"Apa ada makna di balim lukisan ini, pak?" sebuah penasaran buat Nandia. Karena sepahamnya setiap lukisan yang berhasil di pajang dalam sebuah galeri mungkin saja menyimpan makna. Dan, kini Nandia sangat penasaran dengan lukisan yang di hadapannya ini.

Pak Sastro hanya tersenyum kala Nandia bertanya seperti itu. "Coba kamu tebak?"

"Karena di sana tergambar sendiri menatap lurus ke halaman yang luas, mungkin itu menggambarkan kesendirian?" tebak Nandia.

Kembali, Pak Sastro hanya tersenyum.  "Hanya itu?"

Nandia menautkan alis, kembali harus mempercepat kinerja otaknya untuk menebak makna dari gambar itu.

"Kesendiri memberikan sedikit ruang dalam kepala kita untuk dapat berfikir lebih jernih, kesendirian juga mampu menberikan ketenangan, sehingga asumsj yang mungkin melekat dalam otak yang sebelumnya menyesakkan bisa berubah menjadikan kebahagiaan." Jelas pak Sastro. Nandia hanga menggut - manggut saja. Mulai memahaminya.

AMBISIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang