NODA DI ROK WIRU

14.4K 875 21
                                    

Langkah perempuan berbaju hitam putih itu tampak tergesa menyusuri trotoar, seakan ada monster menakutkan sedang mengejarnya. Rambutnya lurus diikat erat ke belakang. Wajahnya cenderung pucat diterpa matahari pagi, seputih cahaya lampu neon 8 watt. Dia menunduk begitu dalam, seakan tak ada kehidupan di sekitarnya. Langkahnya begitu pasti. Ruap suara kendaraan yang memadati jalan tak terhiraukan, atau mungkin semuanya itu serasa tak ada. Beberapa lubang di trotoar dan genangan air karena hujan semalam, membuatnya sesekali turun dari trotoar. Hujan yang turun di musim kemarau.

Saat sedang khusuk menikmati jalanan, tiba-tiba dari arah belakang, sepeda motor dengan kecepatan tinggi melindas genangan air. Genangan air itu memecah, serta melompatkan percikan air ke samping kiri dan kanan. Tidak bisa dihindarkan, percikan air itu mengenai rok panjangnya yang berwiru. Seketika itu pula terhenti langkahnya, mendongakkan wajah, sedikit bersungut, namun tak ada suara dari mulutnya. Pengendara sepeda motor itu pun sempat memelankan kendaraannya, menoleh sesaat. Helm teropongnya menutupi wajahnya. Tolehan kepalanya seakan sudah mewakili permohonan maafnya. Sementara di seberang jalan, sempat terdengar gelak dari dua lelaki yang nongkrong di warung tegal. Ditatap pula kedua lelaki itu olehnya. Tergelak pun terhenti. Tatapan matanya yang tajam pada kedua lelaki itu cukup mewakili rasa marahnya. Bagaimana tidak, orang celaka ditertawakan.

Dikibaskan percikan air yang menyisakan titik-titik abu-abu di rok wiru panjangnya. Namun sia-sia, masih saja titik-titik itu membekas. Air telah meresapkan warna tanah jalanan melalui pori-pori kainnya. Tapi sudahlah, tak perlu merajuk lebih lama. Bagaimanapun dia harus menyegerakan diri melangkah. Waktu tidak mungkin bisa dihentikan karena kecelakaan kecil itu. Sebelum jam 08.00, dia harus sudah sampai di Gedung Serba Guna kampus 1 Universitas Nusantara. Belum juga diketahui secara pasti di mana posisi gedung itu. Karena ini masih menjadi kali ketiga dia akan menginjakkan kampus itu. Pertama, saat dia mendaftarkan diri. Kedua, saat dia daftar ulang karena dinyatan telah lulus tes masuk perguruan tinggi. Dan ketiga, hari ini, saat dia harus mengikuti OMABA (Orientasi Mahasiswa Baru). Ini akan menjadi kampusnya yang kelak akan dijadikan titik tolak menuju sejarahnya akan datang. Sejarah yang belum tercatat secara pasti tentunya, meskipun kepastian itu sebenarnya sudah menjadi milik penguasa langit.

Dengan dipandu denah, akhirnya dia sempat bingung menyusuri gedung-gedung kampus yang saling berkelit, serta jalanan kampus yang bersaling-silang. Semestinya itu tak terjadi, kalau saja dirinya tidak berangkat kesiangan. Kalau dia bisa berangkat lebih pagi, tentunya dia akan mendapati mahasiswa baru lainnya dengan setelan pakaian yang sama, berbondong-bondong menuju lokasi yang sama. Antrean di kamar mandi kos-lah yang menjadikannya kesiangan. Dia dapat giliran mandi paling buntut.

Setelah bertanya dengan seorang perempuan yang asyik membaca novel di taman, akhirnya dia dapati pula Gedung Serba Guna itu. Gedung yang megah, tapi tak lagi indah. Arsitekturnya kuno, sisa-sisa masa lalu yang dipertahankan. Beberapa sisi dinding catnya sudah mengelupas, meninggalkan noda-noda hitam di sana-sini. Gedung itu memiliki teras yang menjorok ke dalam, di mana di kedua sisi teras adalah ruang-ruang yang mirip tempat penjualan tiket pertunjukkan. Atau memang gedung itu sering dijadikan tempat pertunjukkan. Di teras itu berjajar meja-meja, juga mahasiswa senior dengan T-shirt hitam, celana jin hitam, memasang tampang galak. "Ayo cepat! Dua menit lagi pintu ditutup!" gertak seorang mahasiswa perempuan bertampang sadis.

"Siapa namamu?!" kata seorang mahasiswa laki-laki bertampang angkuh menggertaknya.

"Gris," jawabnya pelan, nyaris tak terdengar.

"Gris siapa?! Menyebutkan nama saja pelit. Memangnya kamu mau jual berapa namamu. Kamu tahu nggak? Kamu menjadi mahasiswa terakhir yang datang," kata-katanya tak terbendung.

"Grisanti, Mas. Tapi belum terlambat kan, Mas?" kata Gris abai pada kata-kata itu.

"Tidak usah jawab, karena aku sudah tahu namamu. Ini, tinggal namamu yang belum ada tanda tangannya," katanya sambil menyodorkan daftar hadir.

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang