IDEOLOGI CINTA

972 167 1
                                    

Riswan keluar dari perumahan elite itu ketika matahari sudah bergesar ke barat sedikit dari garis tengah bumi. Terik di kota S berada pada titik puncaknya, merangsang pori-pori kulit membuka untuk membuang keringat. Setelah berbaur dengan jantung kota, vespanya dilajukan ke kampus Nusantara. Harapannya dia bisa menjumpai Seila di sana. Sampai di gerbang kampus, waktu belum menunjuk pada angka satu tepat, kelas kuliah Seila kemungkinan belum berakhir. Dia tambatkan vespanya di samping salah satu warung tegal dekat kampus. Dia masuk ke warung tegal bertuliskan "Bang Jasmin". Kebetulan perutnya sudah minta diisi untuk kebutuhan makan siang, sehingga warung tegal itu menjadi tambatan perutnya meski hanya dengan sebungkus mie rebus instan yang menjadi menu unggulannya.

Hanya dirinya dan dua mahasiswa yang sedang mangkal di warung itu. Sambil bergerak memasak mie rebus, Bang Jasmin mencuri-curi pandang pada Riswan. Sementara tatapan mata Riswan tersedot ke gerbang kampus, seakan-akan di sana ada sesuatu hal yang menarik. Setiap ada mahasiswa perempuan, Riswan berharap itu Seila. Sementara tangan kirinya memegang satu bungkus keripik singkong dan tangan kanannya menyorongkan keripik itu satu persatu ke mulut. Dikunyahnya keripik itu pelan-pelan.

"Mie rebus sudah siap, Mas!" kata Bang Jasmin mengejutkannya.

"O, ya, Bang! Terima kasih," kata Riswan tergeragap.

"Sedang menunggu seseorang, Mas?" tanya Bang Jasmin sambil tangannya bergerak mengelap meja dari tumpahan air.

"Iya," kata Riswan matanya masih fokus pada gerbang kampus. Tangannya mengaduk-aduk mangkuk mie itu. Dia suapkan mie itu ke mulutnya, namun buru-buru dia muntahkan kembali karena kepanasan.

Bang Jasmin tertawa melihatnya, kemudian katanya, "Mas, terang saja mie itu masih panas. Belum dua menit diangkat dari rebusan. Pasti seseorang yang Mas tunggu ini cewek. Kalau bukan pacar, pasti teman spesial. Kalau boleh tahu siapa namanya? Bukan apa-apa, kalau saya kenal mungkin bisa membantu mengamati gerbang kampus, sedangkan Masnya bisa menikmati mie rebusnya."

Riswan tersenyum sambil menjawab, "Namanya Seila. Mahasiswa Sastra Jawa."

"Seila. Baru kenal saya. Ada juga sih mahasiswa Sastra Jawa yang menjadi langganan saya, namanya Gris dan Mita."

"Ya, maksud saya Gris," sahut Riswan.

"Gris atau Seila?" tanya Bang Jasmin sambil mengelap gelas-gelas yang baru dicucinya.

"Sama saja."

"Maksudnya?" Bang Jasmin seketika berhenti dari aktivitas.

"Emm ... maksudnya Gris itu temannya Seila," Riswan mengoreksi kesalahan, kemudian langsung memindahkan topik pembicaraannya. "Jadi nanti kalau Abang lihat Gris, sampaikan ke saya."

"Ya... kalau Mbak Gris gampang. Dari jauh saja saya bisa mengenalinya." Pernyataan Bang Jamin melegakan Riswan, sehingga Riswan bisa menikmati mie rebus itu. "Tapi sebenarnya dia sudah lama tidak mampir di warung ini. Kalau Mbak Mita dan Mas Erwin masih sering. Nggak tahu, kelihatannya di antara mereka ada masalah."

Riswan mengangguk saja karena sebenarnya dia sudah lebih tahu masalah itu. Sementara Bang Jasmin masih terus saja bicara, kadang juga melontarkan pertanyaan-pertanyaan tak penting. Riswan menanggapi sekedarnya saja. Selain menikmati mie rebus, Riswan lebih berharap segera dapat menjumpai Gris.

"Nah, itu mereka!" kata Bang Jasmin menggugah kesenangannya. Sebuah motor terdengar dihentikan di samping warung. Riswan langsung berdiri dengan maksud memanggilnya atau mengejarnya. Sebelum niatnya terlaksana, di depan warung sudah berdiri Erwin dan Mita.

"Lho, kok kamu di sini?" tanya Mita.

"Saya sedang menunggu Seila, eh ... malah kalian yang datang," tanggapan Riswan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang