OPORTUNIS

911 180 3
                                    

Latihan teater sore itu diakhiri menjelang pukul 10 malam. Latihan naskah diulang sampai tiga putaran. Meski penampilan secara umum dikatakan Rois bagus, tetapi sebagai sutradara dia selalu berharap lebih. Ada kejutan-kejutan baru yang terjadi selama latihan berlangsung. Rois sering melontarkan sanjungan-sanjungan pada Gris yang tampil semakin memikat. Dia tampil seperti singa panggung. Dia telah jadikan panggungnya sebagaimana dunia nyata. Lenyaplah sosok Gris bersama karakter barunya, dan memangsa karakter-karakter lain yang masih tampil malu-malu. Hingga di akhir latihan Rois menyatakan Gris tampil paling menonjol dibanding aktor yang lain. Terbayar sudah kegagalan latihan pada hari-hari sebelumnya yang dipenuhi cercaan dan cibiran pesimis. Dia pun berani bersikap pongah kembali di hadapan anak buahnya atas segala keputusannya terkait Gris.

Rois menahan Mita untuk pulang begitu latihan berakhir. Mita sempat kaget akan permintaan Rois. Mita hendak menolaknya kalau saja Rois tidak mengatakan 'penting' dan tentang Gris. Selain Mita, Bonari juga tidak diizinkan pulang.

"Kamu pasti kenal siapa itu Gris?" tanya Rois pada Mita menyiratkan penyidikan.

Mita mendapat pertanyaan itu sempat kaget, akankah dia akan menyampaikan rahasia di balik Gris. "Gris, ya sebagaimana yang Mas Rois ketahui," kata Gris sulit untuk berbohong, karena dia tahu karakter siapa yang tampil tadi.

"Pada satu sisi saya suka penampilannya tadi, tetapi pada sisi lain dia kelihatannya sedang melampiaskan kemarahannya," komentar Rois.

"Bisakah saya dan Mas Rois bicara berdua saja?" tanya Mita.

"Baiklah, Bon. Kamu boleh pulang sekarang!" perintah Rois disambut senang oleh Bonari. Meski dalam pikirannya juga ingin melibatkan diri.

"Terima kasih," kata Bonari meninggalkan tempat latihan yang sudah sepi. Angin malam mulai menusuk-nusuk kulit untuk mengabarkan hawa dinginnya.

Setelah Bonari hilang di balik gedung, Mita berkata, "Sebaiknya kita juga tidak bicara di sini. Satpam yang salah sangka pasti akan mengusir kita."

"Kita bicara sambil berjalan ke luar kampus saja," kata Rois beranjak berdiri. Diikuti pula Mita. Kemudian mereka berjalan beriringan. Jilbab Mita yang putih melambai-lambai ditiup angin malam. Kalau orang menyangka mereka berdua sebagai sejoli, maka akan terlihat dua sosok yang kontras. Perempuannya berwajah alim, sementara lelakinya berwajah berandal.

Mita awalnya ragu menyampaikan keadaan sebenarnya Gris. Tetapi apa salahnya sang Sutradara mengetahui seluk-beluk anak buahnya. Dan memang begitulah watak rahasia yang terlanjur disampaikan, cepat lambat akan banyak telinga yang tahu.

Untuk mengurangi rasa bersalahnya, Mita mengawali pembicaraan begini, "Mas Rois harus pegang janji untuk tidak menyampaikan ini pada orang lain."

"Bisa," kata Rois pendek, seakan cukup mewakili komitmennya.

"Yang bermain tadi bukan Gris yang sebenarnya, melainkan Seila," kata Mita.

"Aku sudah menduga sebelumnya. Apakah mereka kembar?" tanya Rois.

"Mereka adalah satu," jawab Mita belum menunjukkan keterusterangan.

"Dua jiwa dalam satu fisik masksudnya?" tanya Rois. Dia mengeluarkan HP dan terlihat menulis sms.

"Apalah itu sebutannya. Kurang lebih begitu. Ada yang bilang indigo, yang lain menyebutnya skizofrenia," jawab Mita. Rois masih menatap layar HP-nya, tak terlalu memperhatikan perkataan Mita. Seakan informasi itu tidak terlalu penting untuknya. "Bagaimana menurut Mas Rois sebaiknya?"

"Aku tidak punya urusan yang terlalu pada masalah ini. Kepentinganku hanya kesuksesan pada pentas," kata Rois seperti menutupi sesuatu.

Mita agak kecewa mendapat tanggapan sesederhana itu. Selanjutnya mereka berjalan dalam kebisuan sampai keluar gerbang kampus. Sampai di jalan besar mereka disambut derunya kendaraan berlalu lalang, berjalan berbeda arah. Rois dijemput sedan berstiker Menwa. Mita tak berprasangka apapun terhadap sedan itu, kecuali merasa pernah mengenalnya.

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang