PRIA ANTAGONIS

1K 195 4
                                    

Selepas kuliah, Mita sengaja tidak menemui Gris. Dari ruang kelas, dia tidak mengambil tangga utama yang menuju lobi Fakultas. Dia pura-pura menuju ujung lorong agar diduga ke toilet. Selanjutnya dia menyelinap ke pintu di ujung lorong, untuk melewati tangga samping gedung yang menuju ke arah tempat parkir.

Mita sudah bersepakat dengan Erwin untuk bertemu di kantin FISIPOL. Pertemuan itu dimaksudkan untuk membicarakan Gris, makanya Mita menghindari Gris. Kantin FISIPOL yang berada di teras samping gedung diharapkan menjadi tempat aman untuk pertemuan itu. Gris dipastikan tidak akan berpikir kalau kedua sahabatnya mengadakan pertemuan di sana.

Kantin dengan menu utama bakso itu penuh sesak oleh mahasiswa. Memang bukan menjadi tempat nyaman untuk bicara serius. Tidak ada pilihan lain. Mita dan Erwin memilih tempat yang berdampingan dengan gudang. Tempat yang paling tidak diminati karena lembab dan agak redup, sehingga temboknya pun berjamur.

Sambil menunggu pesanan, Mita memulai bicara, "Aku sudah melihat sendiri, Seila itu ada pada diri Gris. Kemarin, saat meditasi di latihan teater, dia kudengar bercakap dengan Seila. Dia seperti bicara sendiri. Saya tidak tahu, apakah teman sebelahnya juga mendengar."

"Berarti Seila bisa hadir di tempat ramai?" tanya Erwin.

"Pada tingkat yang lebih parah, mungkin ya. Inilah yang dikhawatirkan mamanya Gris, Seila menemui Gris di tempat umum. Bagi orang yang tidak memahaminya akan menyangka Gris gila," kata Mita.

"Atau jangan-jangan memang orang gila itu begitu? Bicara dengan seseorang yang tidak tampak oleh manusia normal?" tanggapan Erwin.

"Husy! Apakah kamu menganggap Gris gila?"

"Tapi aku tidak salah, kan? Karena memang kita tak pernah tahu bagaimana sebenarnya orang gila, selain memang kita belum pernah gila," kata Erwin sambil tertawa.

"Jangan ngaco! Ini masalah sahabat kita. Kita harus membantu menyelesaikannya. Kasihan dia."

"Iya, ya. Gris itu sahabat kita." Pembicaraan terhenti, bakso dan es teh pesanannya datang. "Tapi aku merasa Gris itu semakin jauh dengan kita. Dia kelihatannya asyik dengan dunianya sendiri. Dia juga tidak pernah melibatkan kita untuk menyelesaikan masalahnya. Malah kita yang berinisiatif memasuki masalahnya," kata Erwin sambil mengaduk-aduk es tehnya.

"Atau jangan-jangan memang dia tidak memahami kalau dirinya bermasalah."

"Aku kira tidak begitu. Ada rahasia di balik ini semua," kata Erwin sambil menyuapkan baksonya. "Coba kamu renungkan. Menurut cerita Mbak Devi, kadang dia menganggap dirinya Gris dan kadang dia menganggap dirinya Seila. Bahkan, kadang dia merasa Seila berada di luar dirinya. Bisa jadi juga Seila yang merasa Gris berada di luar dirinya. Artinya, dia menganggap, atau boleh aku katakan, mereka menganggap antara Gris dan Seila itu nyata. Tidak ada sosok imajinatif di antara keduanya. Bukankah itu menjadi suatu hubungan yang rumit? Lantas ilmu psikologi memaknainya sebagai penyakit jiwa apa itu? Indigo tidak. Skizofrenia juga bukan. Atau justru itu kombinasi dua-duanya. Saya kadang pusing merenungkan penyakit Gris," kata Erwin mirip kuliah.

"Memangnya kamu pernah merenungkan itu?" tanya Mita.

"Sebagai sahabat aku tidak bisa untuk tidak mengindahkannya. Bahkan aku telah cari-cari masalah Gris di internet. Namun saya tidak menemukan statemen yang pas untuk menerjemahkan penyakit Gris."

"Bukan berarti kita menyerah untuk melibatkan diri, kan?"

"Aku tidak tahu soal itu."

"Kita harus mencegah, agar penyakitnya tidak bertambah parah."

"Bagaimana caranya, Mit?"

"Harus ada orang yang senantiasa di sisinya."

"Bukankah kamu kemarin yang diminta Mbak Devi untuk setiap tidur di tempat kos Gris?"

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang